Sudah sangat merasakan lelah, setelah sibuk bekerja seharian di kantor dengan masih mengerjakan tugas merapikan ruangan baru di salah satu kantor cabang, di Jakarta. Pergi meninggalkan kantor tepat pukul 17.00 WIB. Bersama beberapa teman, saya meninggalkan area kawasan kantor menuju shuttle busway, berniat untuk meluncur ke tengah kota Jakarta, menuju tempat makan di pusat perbelanjaan untuk bertemu dengan sahabat yang sudah dua hari sebelumnya membuat janji untuk bertemu.
Membeli karcis, masuk shuttle dan mengantri untuk menunggu giliran agar bisa menaiki busway, walaupun harus cukup sabar menunggu. Kurang lebih 25 menit saya berdiri di shuttle TU GAS untuk mendapat giliran naik busway, dan itupun sudah tidak kebagian tempat duduk, sehingga saya pun berdiri tepat dekat di belakang pintu masuk.Sedikit bersandar pada badan bus untuk mengurangi beban tas yang cukup berat dengan menahan rasa kantuk yang luar biasa. Sesekali saya istirahatkan mata dengan menahan tubuh ini berpegangan pada tiang dalam busway.
Benar saya harus berdiri sampai tujuan akhir di Dukuh Atas. Lepas dari kepadatan selama di dalam busway, hal tersebut tidak menghindarkan saya untuk bertemu dengan kepadatan yang lebih padat lagi di dalam kotak shuttle busway Dukuh Atas 2. Sudah banyak orang di sana yang transit dan mengantri untuk naik busway selanjutnya dengan tujuan mereka masing-masing. Saya pun tidak mau kalah ikut mengantri untuk bisa keluar dari ruang itu, ruang tidak cukup besar, padat dengan orang-orang, mirip dengan akuarium kecil yang dipenuhi dengan ikan Cupang. Yang tak kalah dari padatnya adalah harumnya. Bau harum yang bermacam-macam berkumpul pada ruang sempit itu, sehingga bau harumnya pun tak karuan dan pastinya tidak enak untuk dinikmati.
Lega rasanya bisa keluar dari ruang sempit itu, sama rasanya seperti orang yang akhirnya bisa kentut setelah menahan beberapa detik di tempat keramaian. Saya dapat menghirup udara yang lebih segar dengan aroma tanah kering terseiram hujan yang sesekali menyentil hidung. Tampias air hujan setengah membasahi tubuh, saya tetap berjalan menuju shuttle selanjutnya untuk bisa sampai ke tempat yang sudah saya dan sahabat janjikan untuk bisa bertemu.
Karena transit, maka saya tak perlu merogoh katung dompet lagi untuk membeli karcis. Saya hanya tinggal masuk ke dalam antrian penumpang dan menunggu kembali giliran mendapatkan busway menuju Bendungan Hilir.
“Antri lagi, lelah sekali, tak ada habisnya. Sedikit lagi sampai!” keluh dan menyemangati kembali diri saya menuju tempat pertemuan.
Ditemani dengan alunan suara Celine Dion yang mendendangkan lagu I’m Alive, dari MP3 handphone, saya masuk ke dalam antrian penumpang. Mencoba menikmati lagu untuk menghilangkan rasa lelah dan jenuh menunggu di dalam antrian, tiba-tiba mata saya melihat hal yang tidak enak. Volume suara pun saya kecilkan sehingga saya juga bisa mendengarkan situasi yang sedang terjadi. Terlambat saya mengecilkan, saya tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi. Dari mata yang sudah melihat situasi itu menyimpulkan bahwa sudah terjadi hal-hal yang tidak mengenakkan, tetapi saya tidak tahu apa itu. Antrian depan cukup risuh, saya mencoba cari tahu melalui telinga saya untuk mendengarkan pembicaraan orang sekitar, tapi masih belum mendapatkan jawaban. Sampai akhirnya busway tiba, berhenti di depan pintu shuttle, antrian depan tertahan karena terjadi sesuatu hal. Mata saya hanya melihat orang-orang antri yang mayoritas menggunakan baju kerja, ada perempuan ada pria, orang dewasa dan paruh baya.
Dialog seru terjadi antara bapak tua berbadan sedang, tidak terlalu tinggi, yang memakai kemeja garis-garis merah biru dan celana bahan biru, membawa tas yang disangkutkan di bahunya, dengan seorang laki-laki paruh baya, perawakannya kecil, putih dan kurus yang menggunakan kemeja putih bersih dengan celana berwarna krem, di tengah-tengah kerumunan orang-orang yang sedang mengantri.
“Aduh, apa sih.”
“Ada apa?”
“Jangan senggol-senggol begitu”
“Tidak”
“Anda ini kenapa sih!”
“Saya tidak melakukan apa-apa”
”Kurang ajar! Anda ambil handphone saya.”
“Tidak. Ini punya saya”
“Haah.. Anda mengambil!”
“Tidak”
“Kurang ajar!”
Sekilas perdebatan itu terdengar pada antrian depan antara bapak tua dan laki-laki para baya itu,
Situasi yang padat berubah menjadi situasi risuh, dan makin panik saat ingin memasuki busway yang akhirnya ada satu orang dari penumpang berteriak “copeeet…”
“Copet, Pak”
“Copet itu, tangkap!”
“Tarik.. Bawa keluar”
“Minggir dulu.”
“Awas, bahaya, minggir dulu, jangan ikut-ikutan”
Beberapa penumpang teriak panik, dan mulai menyebar keluar dari kerumunan untuk menghindari dari situasi risuh.
Saya berdiri dengan memeluk tas kerja dan tetap berdiri di tempat antrian bersama orang-orang yang ada di belakang saya yang tidak bisa bergerak karena padat dalam antrian.
Dari orang-orang yang menyingkir dari antrian, petugas keamanan busway masuk kedalam busway dan menyeret seorang laki-laki paruh baya yang tadi berdebat dengan bapak tua berkemeja garis-garis merah biru. Menarik kerah kemeja laki-laki parah baya itu keluar dari kerumunan dan diamankan disudut shuttle yang dengan sudah menerima perlakuan yang cukup tidak manusiawi. Bogem mentah mendarat di pipi dan mata kiri laki-laki parah baya itu, dengan bentakan tuduhan yang tak henti-hentinya.
“Ouw, jangan”
“Jangan dipukul!”
Teriak seorang wanita yang ada dibelakang, yang tidak sempat saya tengok karena sudah terkesima melihat laki-laki paruh baya itu menahan sakit dengan memegang pipi dan matanya sambil membela diri tak berdaya.
“Kalau tidak dibeginikan, dia tidak kapok. Ibu bukan korban, jadi pasti kasihan. Dia bisa saja berbuat lagi, makanya harus dibuat kapok” oceh petugas keamanan kepada wanita yang berteriak tadi.
Suasana masih ricuh dan panik, petugas keamanan masih menahan busway untuk tidak melaju. Petugas mencari korban untuk dikeluarkan juga untuk menyelesaikan masalah. Bapak tua dengan kemeja bergaris merah biru itu mengikuti jalan para petugas keamanan, mengadu sebagai korban. Penumpang lain yang menjadi saksi pun berpindah tempat ke dalam rumunan petugas keamanan yang telah mengkarantina si pelaku dan korban. Makin tak berdaya saja laki-laki paruh baya itu setelah ditambah tendangan mantap yang diberikan oleh bapak tua karena emosi.
“Dasar, kurang ajar”
“Penampilannya saja rapi, tapi penjahat”
“Jangan pura-pura mengeluh”
Ungkap bapak tua yang mengeluarkan emosinya.
Miris saat melihat keadaan laki-laki paruh baya itu, mencoba membela diri dan merintih menahan sakitnya. Lagi-lagi saya hanya bisa diam dan mengerenyutkan dahi , serta serasa merasakan sakit pria paruh baya itu. Kasihan, tak tega, khawatir serta kesal, hanya itu yan terasa sambil makin erat saya memeluk tas kerja dan mengikuti langkah antrian penumpang lain masuk ke dalam busway, setelah beberapa petugas keamanan lainnya berhasil menenangkan situasi.
Di dalam busway saya melaju meninggalkan situasi yang tidak mengenakkan dengan masih membawa perasaan tidak enak juga.
0 komentar:
Post a Comment