Tuesday, April 14, 2009

PEKERJAAN DAN KESETARAAN DALAM RADIO

Diposkan oleh Dhimas HR Pada 8:06 PM 1 komentar
The History Of The Radio Part 05
Sekarang industri radio mempekerjakan lebih dari 90 ribu orang, tetapi dengan perampingan dan konsolidasi,jumlah ini nampaknya akan berkurang di masa yang akan datang. Sejak 1972, 75 ribu orang telah mendapatkan pekerjaan tetap di radio. Sekarang, kesempatan bagi perempuan dan kaum minoritas lebih besar dari sebelumnya. Radio sampai akhir-akhir ini Bagan organisasi stasiun radio pasar menengah nonkonsolidasi menjadi profesi yang didominasi kaum pria. Pada tahun 1975 pria di industri ini mengalahkan jumlah perempuan dengan perbandingan hampir empat banding satu. Sekarang perempuan yang dipekerjakan jauh ebih banyak dibandingkan kapan pun juga, dan bukan hanya untuk pekerjaan di kantor. Perempuan telah merintis jalan masuk yang kuat ke dalam bagian program, penjualan dan manajemen dan tidak ada alasan untuk berpikir bahwa tren ini tidak akan berlanjut.

Menurut Ed Shane, ”Perempuan telah membuat jalan masuk yang luar biasa, terutama di bagian penjualan.” Akan membutuhkan waktu beberapa lama, bagaimanapun juga, sebelum jumlah yang sesuai bagi perempuan dan kaum minoritas bekerja di media ini.Sikap FCC yang bersikeras akan adanya kesempatan kerja yang sama dalam industri penyiaran membuat prospek yang baik bagi semua orang yang tertarik erkarier di bidang penyiaran.

Masih ada ruang bagi perbaikan tingkat partisipasi kelompok etnik yang berbeda dalam industri radio. Menurut juru bicara NAB untuk sumber daya manusia,Dwight Ellis, “Tren ketenagakerjaan yang dilaporkan FCC memperlihatkan pertumbuhan yang kecil sekali antara tahun 1980 dan 1992 dalam perkembangan tenaga kerja Amerika asli di dunia penyiaran. Kelompok lain juga memperlihatkan perkembangan yang lambat pula. NAB berkomitmen untuk membantu perkembangan perekrutan tenaga kerja dan kepemilikan stasiun radio bagi kaum minoritas di industri ini. NAB menjadi semacam pelindung bagi kemajuan kaum minoritas di penyiaran. Bagaimanapun juga, usaha yang lebih harus dilakukan.

Konsep salah yang banyak terjadi adalah sebuah stasiun radio terdiri utamanya dari para deejay dan beberapa pekerjaan lain yang tersedia. Salah! Benar bahwa disc jockey memang menjadi bagian yang besar dari staf sebuah stasiun radio, tapi banyak karyawan lain yang dibutuhkan untuk menjaga agar radio tersebut tetap mengudara. Sebuah stasiun radio sedang dalam sebuah pasar yang juga sedang memperkerjakan antara 18 sampai 26 orang, dan personil siaran meliputi kurang lebih sepertiga dari jumlah tersebut. Stasiun biasanya dipecah menjadi tiga bagian besar: penjualan, pemrograman, dan teknik. Setiap bagian, terutama yang dua pertama, membutuhkan sejumlah orang untuk mengisi posisi yang menuntut keahlian yang bermacam-macam. Bahasan bahasan lain akan menjelaskan keahlian keahlian tersebut.

Pelatihan dan pendidikan yang benar sangat dibutuhkan untuk mengamankan sebuah pekerjaan dalam kebanyakan stasiun radio, walaupun banyak yang akan melatih orang untuk posisi yang kurang menuntut pendidikan. Lebih dari seribu sekolah dan akademi menawarkan program studi penyiaran dan kebanyakan akan menawarkan sertifikat atau gelar. Seperti kebanyakan lapangan pekerjaan sekarang,semakin berbobot gelar yang dimiliki sang calon, semakin baik kinerjanya di hadapan orang yang akan mempekerjakannya.Mungkin tidak ada posisi lain yang menilai bobot praktek, pengalaman langsung di lapangan seberat yang dilakukan oleh radio. Ini sangat benar terutama dibidang yang menyangkut siaran. Di bidang pemrograman, suara seseorang yang akan memenangkan pekerjaan bukan gelarnya. Bagaimanapun juga, pelatihan dan pendidikan formalah yang biasanya memberi kontribusi secara langsung kepada kualitas suara yang dicari oleh seorang direktur program ketika akan merekrut seseorang. Kenyataannya, hanya sebagian kecil penyiar radio yang memiliki gelar sarjana (jumlahnya terus bertambah), tapi statistik menunjukkan mereka yang memiliki gelar sarjana memiliki kesempatan yang lebih besar untuk masuk ke posisi manajerial.

Banyak manajer stasiun yang mencari orang yang berpendidikan tinggi, terutama untuk bidang pemberitaan dan penjualan. Sebelum tahun 1965, persentase personil radio dengan pendidikan unversitas relatif rendah. Tetapi angka tersebut terus meningkat secara teratur seiring dengan semakin banyaknya universitas yang membuka program penyiaran. Ribuan gelar sarjana komunikasi diberikan setiap tahunnya, dan hasilnya memberikan industri radio sejumlah calon dengan tingkat pendidikan tinggi. Sekarang, pendidikan di universitas adalah nilai plus ketika seseorang mencari pekerjaan di bidang radio.Lamaran pekerjaan atau riwayat hidup yang memberikan daftar pengalaman praktis ditambah dengan pendidikan formal adalah yang paling menarik. Kebanyakan universitas dengan program pendidikan radio memiliki radio kampus. Stasiun kecil ini memberikan praktisi penyiaran sebuah kesempatan emas untuk mendapatkan kesempatan siaran yang sangat dibutuhkan. Beberapa dari praktisi penyiaran paling populer di Amerika memulai karirnya dari radio kampus. Banyak dari sekolah-sekolah ini memiliki program magang yang memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk mendapatkan pelatihan langsung di lapangan di stasiun yang profesional. Sekali lagi, pengalaman adalah pengalaman, dan ini diperhitungkan oleh calon pemberi pekerjaan.

Radio komersial yang kecil seringkali mau mempekerjakan mahasiswa penyiaraan untuk mengisi slot siaran paruh waktu dan liburan. Ini menghasilkan pengalaman “profesional” dan merupakan tambahan yang tak ternilai bagi riwayat hidup anda. Tingkat penghasilan untuk posisi-posisi yang rendah distasiun radio jarang yang memberikan bayaran besar. Faktanya, banyak stasiun di pasar kecil memberikan gaji yang hampir sama jumlahnya dengan upah minimal. Tapi bagaimanapun juga pengalaman yang didapat dari usaha dengan anggaran rendah ini nilainya lebih dari cukup untuk menutupi penghasilan yang kecil. Setahun atau dua tahun pertama di radio merupakan masa-masa yang sulit, masa-masa seseorang belajar untuk membuat segala macam simpul yang ada. Stasiun radio kecil memberikan kesempatan kepada seseorang untuk terlibat di segala bidang bisnis yang ada. Jarang sekali seorang karyawan baru melakukan hanya satu jenis pekerjaan saja. Misalnya seorang yang dipekerjakan sebagai penyiar akan sering disuruh menyiapkan dan membaca berita, menulis dan memproduksi iklan dan bahkan menjual jam siaran.

Untuk menjadi sukses di sebuah bisnis yang seunik radio, seseorang harus memiliki banyak kualitas, paling tidak harus ada determinasi, keahlian dan kemampuan untuk mengambil pelajaran dari kritik yang membangun. Karir di radio tidak seperti yang lain, dan balasannya, baik pribadi maupun finansial, bisa dikecualikan. “Ini merupakan bisnis yang hebat,” kata Lynn Christian, wakil presiden senior dari Biro Periklanan radio. “Tidak ada dua hari yang serupa. Setelah tiga puluh tahun di radio, saya masih merekomendasikannya dibandingkan kesempatan karir yang lain.”

Selamat Berjuang Keluargaku
Dhimas HR

Sunday, April 12, 2009

SERTIFIKAT

Diposkan oleh Dhimas HR Pada 7:14 PM 0 komentar
Makna Dan Hakikat...Bukan Cuman Rupa
Adapun mengenai sertifikat – sertifikat yang sempat saya baca meskipun sekilas adalah poin yang cukup bagus dan tentunya membanggakan bagi siapapun yang memilikinya dan bahkan bisa menjadi penjamin mutu kualitas dibidangnya. Namun lazimnya, hanya sertifikat paling awal, tengah dan terbarulah yang akan lebih menjadi atensi khusus dalam mempertimbangkan kelayakan seseorang tersebut untuk bisa disebut berpengalaman. Namun tidak lantas sertamerta sertifikat juga mampu menjamin 100% mutu dari sang pemilik sertifikat perlu dilihat dulu dari mana sertifikat dikeluarkan oleh lembaga mana, apa dan bidang apa ?

Pengalaman berbicara, untuk bisa mengajar di lingkup sekolah menengah atas diperlukan Akta 4
(A4), jika kita tidak menggunakan A4 tentunya tidak mungkin bisa mengajar di sana. Maka jika untuk broadcasting radio lazimnya sertifikat yang digunakan ya yang masih ada korelasinya dengan dunia radio atau lembaga – lembaga keradioan misalnya : Yayasan SatuNama ( USC Satunama – Jogjakarta ) – Multimedia Training Centre ( MMTC – Jogjakarta ) – BBC Indonesian Radio Jakarta – School Broadcasting Media ( SMB Jakarta ) dan masih banyak lembaga keradioan lainnya baik yang swasta maupun di dukung lembaga dana sementara untuk bidang jurnalistiknya ya jurnalistik radio bukan jurnalistik Koran atau tabloid misalnya : Internew’s Media Jakarta – Yayasan Mapel Banjarnegara – TIFA Jakarta – Voice Of Human Right ( HVR Media Jakarta ).

Diantara kesemuanya yang sudah tertulis diatas, secara pribadi saya berani katakan bahwa saya memiliki hampir disemua bidang yang di anjurkan seperti misalnya : Programming – Jurnalistik – Teknik Announcement – Marketting – Regulasi atau sekedar peserta training biasa. Tetapi jujur saya katakan bahwa saya jarang menggunakan sertifikat – sertifikat itu karena saya lebih senang menunjukan bukti karya saja bukan lembaran kertas yang memang sangatlah ringan bobotnya. Tamat

Selamat Berjuang Keluargaku
Dhimas HR
Diposkan oleh Dhimas HR Pada 7:08 PM 0 komentar
IKLAN
Menurut undang – undang penyiaran maupun P3 SPS Iklan yang boleh disiarkan di dalam radio komunitas adalah iklan layanan masyarakat / ILM Bukan iklan niaga. Menurut pengalaman untuk mampu menghidupi radio komunitas dengan iklan layanan masyarakat hanya di perlukan kreatifitas, kerjasama antar tim, dan pantang menyerah merupakan ujung tombak dari keberhasilan sebuah radio komunitas, bukan sekedar memancing iklan niaga. Sebaiknya dihindari karena meski tampaknya sama – sama kreatif tetapi alangkah lebih baik jika kita gali potensi SDM – SDM yang sudah terlibat untuk mencari ide – ide kreatif.

GOE Enterprise
Berbicara mengenai Event Organizer / EO, adalah sah – sah saja ketika radio memiliki management dampingan untuk mengelola program Off Air dengan melibatkan atau membuat EO sendiri. EO dapat terbentuk manakala radio memiliki divisi kreatif yang pada prinsipnya menginduk pada management radio sehingga semua bentuk pertanggungjawabannya jelas dan aman.

Pertanyaannya, dari berkas lembaran yang disodorkan ada lembaran tentang GOE Enterprise lalu apa hubungannya dan bagaimana management Fee nya ?

BERITA SUARA PUBLIKA
Berita yang cukup menarik untuk disimak memang. Apalagi bagi insan media, sayangnya berita itu tidak uptodate dan rasanya pengalaman kawan – kawan televisi yang diberitakan tersebut berbeda jauh dengan pengalaman kawan – kawan radio komunitas yang jarang sekali ditutup / di bredel. Pertanyaanya adalah kapan berita itu di tulis dan rasany kok terlalu bodoh pengirimnya ( Mohammad Riyadi ) jika masih bertanya tentang lembaga penyiaran apalagi untuk tingkat daerah padahal KPID sudah lama terbentuk. Lagipula berita mengenai tutupnya beberapa TV di Malang bukan karena tidak berijin tetapi karena memang kanalnya habis.

TARGET PENJUALAN
Muncul satu pertanyaan tentang apa yang sudah di tuliskan di sini, target yang di maksudkan masih berbentuk perdiksi penjualan atau factual penjualan ?. Sungguh….ini merupakan angka – angka yang fantastis dan spektakuler dalam sejarah keuangan radio komunitas di Indonesia. ni Revolusi namanya jika benar – benar realisasi dan perlu rasanya saya secara pribadi mengundang kawan – kawan anggota Jaringan yang di Jawa Timur – Jawa Tengah atau bahkan yang di Sulawesi untuk belajar system yang demikian hebatnya sehingga mampu menghasilkan pemasukan yang “Luar Biasa”. Tapi …lazimnya keuangan radio komunitas di buat perbulan dengan di jabarkan per itemnya karena akan lebih lugas, sederhana tetapi penuh tanggungjawab.
Bersambung.....

Tentang Progress Report

Diposkan oleh Dhimas HR Pada 6:54 PM 0 komentar
SPEKSIFIKASI ALAT
Seyogyanya semua piranti siar / Speksifikasinya dilengkapi dengan harga per itemnya sehingga mudah untuk di inventarisasi dan jumlah total modal awal pendirian radio bisa di ketahui sebagai bahan pengisian form sesuai yang diajukan KPID.
Progress Report
Pertanyaannya adalah, apa maksud dari “Tanpa Legalitas Formal” sebagai radio komunitas / radio komersial, seharusnya dari visi dan misinya toh bisa dilihat kemana arah maupun jenis radio yang dimaksud apalagi jika frekuensi yang dipaki saja sudah menggunakan kanal yang jelas. Sekedar informasi saja bahwasanya kanal 107’7 – 107’8 – 107’9 merupakan mapping / alokasi frekuensi untuk radio komunitas sesuai dengan UU Penyiaran tahun 2002.

Tentang akta pendirian radio, untuk radio komunitas adalah berbadan hokum koperasi atau perkumpulan bukan Yayasan juga bukan Perseroan Terbatas ( PT ). Karena radio komunitas merupakan organisasi Nirlaba. Mengengai NPWP juga rasanya tidak perlu karena meski pada akhirnya nanti radio komunitas diwajibkan membayar, itu merupakan PNBP pendapatan Negara Bukan Pajak yang nominalnya pun sangat kecil sekitar Rp. 18.000 Pertahun tergantung kelas Wilayahnya. Dan untuk proses mengurus regulasinya / perijinan baik radio swasta – komunitas – maupun publik ke KPI sama sekali tidak ada biaya sepeserpun, GRATIS !!!

Rekomendasi dari Dishub juga tidak perlu karena IPP Hanya dikeluarkan oleh satu lembaga ( 1 Pintu ), yaitu Komisi Penyiaran Indonesia KPI. Perihal SIUP, adalah surat ijin usaha maka karena radio komunitas berusaha bukan pada ranah komersial ini juga tidak dibutuhkan. Dan mengenai angka frekuensi yang dipakai merupakan wewenang Balai Monitoring setempat yang nantinya akan memberitahukan berapa jumlah sisa kanal yang ada di wilayah tersebut maka tidak ada jaminan walau ketika saat ini (Misalnya) pakai di angka 107’7 seterusnya akan menggunakan angka itu bisa saja berubah di angka 107’8 atau 107’9 tergantung mapping frekuensinya Balai Monitoring dan hal – hal seperti bisa di diskusikan dalan proses Evaluasi Dengar Pendapat EDP.

Mengenai kabar TV ataupun radio yang dilarang bersiaran bukan sepenuhnya karena mereka ( TV atau Radio) Tidak Berijin Bahkan Televisi yang sudah berijin pun masih bisa saja dilarang siaran jika memang mapping kanalnya sudah habis. Lagipula, radio komunitas tidak perlu kawatir karena kita memiliki banyak sekali jaringan – jaringan yang siap mengadvokasi dalam hal apapun mulai dari aspek hukum – legalitas – program siaran – Akuisisi – Dll, jaringan radio komunitas Indonesia adalah induk dari jaringan wilayah (JRK Papua – JRK Sulut – JRK Demokrasi Jatim – JRK Jateng – JRK Jabar – JIRAK – CELEBES ) atau bahkan jaringan radio komunitas internasional AMARC. Jadi salah besar jika radio komunitas di takut – takuti dengan masalah hukum atau perundang undangan.
Bersambung.....

Friday, April 10, 2009

3 Alasan Orang Dengerin Radio

Diposkan oleh Dhimas HR Pada 8:27 PM 0 komentar
MENURUT “teori” –tentu berdasarkan empiri atau pengalaman di lapangan juga– pendengar nyetel radio itu umumnya mau denger lagu, denger musik yang enak, buat ngilangin kepenatan, relaksasi, atau nemenin aktivitas apa pun saat itu. ‘Tul gak? Itulah sebabnya, radio identik dengan musik, bahkan sejak dulu. Kita lihat sejarah lahirnya pesawat radio, ‘kan dimulai dari adanya Music Box alias “Kotak Musik”. So, radio itu gudangnya lagu. Makanya, karena pada dasarnya umat manusia itu suka musik, dan musik itu universal, maka eksistensi radio kagak ada matinya, meski “digempur” oleh banyaknya stasiun TV sekalipun!

Radio tetap punya pangsa pasar, tetap punya pendengar, malah naga-naganya makin banyak aja tuh jumlah stasiun radio, apalagi radio komunitas. Sebuah lagu bisa hit atau albumnya meledak karena sering diputar di radio. Orang yang tidak suka beli kaset, tapi suka denger lagunya, tinggal kirim SMS ato tlp ke penyiar, request, bisa kirim salam lagi, jreng…. keluar deh tu lagu. Lebih enak, jernih, dan “cling” lagi audionya. Maklum, diproses dulu kan tu laguk, diedit dulu di ruang produksi, dibagus-bagusin audionya, jadilah ia lebih OK ketimbang aslinya di kaset atau CD.

Makin asyik tuh dengerin lagu, kalo penyiarnya ngocol abis, kocak, lucu, isengnya bikin betah pendengar stay tuned, kasih info penting lagi. Udah gitu, kagak banyak ngomong, tapi banyak muter lagu. Wah, serrrruuu….! “Jadi bikin penasaran aja pengen ketemu penyiarnya,” kata pendengar. Ya, misteri penyiar itulah salah satu kekuatan utama radio. Suaranya bisa didengar, orangnya kagak keliatan, jadilah pendengar tuh “ngeraba-raba” kayak apa ya orangnya ni penyiar. “Hati-hati, suara mendayu wajah menipu…!” bisik seseorang. “Ah, biarin, aku jatuh cinta ama suaranya kok!” kata pendengar fanatik.

Tiga alinea di atas “sekadar” pengantar, ada tiga alasan utama pendengar mendengarkan siaran radio. Pertama, karena lagunya bagus, enak didengar. Kedua, karena suara penyiarnya OK banget, merdu, ah pokoknya enak aja didengar. Ketiga, informasinya penting banget, menarik, bikin penasaran. Sempurna banget kalo ketiga hal itu –lagu bagus, suara bagus, dan info penting– ada dalam sebuah siaran radio. Jamin, stay tuned deh, kagak usah disuruh “jangan kemana-mana” juga pendengar setia! …Eh, pendengar radio bisa ke mana-mana kok, kan radio bisa didengarkan sambil melakukan aktivitas apa pun (kecuali tidur) selama hayat di kandung badan–maksudnya selama kuping bisa dengerin. Makanya, hai rekan penyiar, kayaknya qta gak perlu bilang “Jangan ke mana-mana….!”, lagian basih deh ya…

“Putar lagu-lagu hits pada awal dan akhir siaran, di tengah-tengah selingi dengan lagu baru, kurang hit, dan lagi hit… semuanya itu buat ngikat pendengar,” begitu katanya. “Mantap euy lagunya, 11 Januari…” kata pendengar via SMS saat saya siaran tadi pagi. Itu sekadar contoh apresiasi pendengar yang suka banget tu lagu. Maka, lagu ok lainnya pun saya hadirkan… Sadari Hati, Kesempatan Kedua, Musnah, de el el…

Trus.. apa lagi ya.. Udah dulu deh. Saya ulang ya. Tiga alasan utama pendengar dengerin siaran kita: lagu, suara/penyiar, dan info. Minimal salah satunya harus OK. Lagu gak bagus, info gak penting, suara dan/atau penyiarnya harus OK. Suara pas-pasan, info gak penting, lagunya atuh kudu bagus-bagus. Begitu seterusnya. Minimal salah satunya yang bagus. Kalo tiga-tiganya jelek, ya…. bicara aja sendiri, kagak ada yang denger tuh… (Lho kok, sentimen gitu seeh….???).

Selamat Berjuang Keluargaku
Dhimas HR

Announcement Yang Dibuat Buat

Diposkan oleh Dhimas HR Pada 8:19 PM 0 komentar
Sebuah usaha dan upaya pribadi penyiar untuk tampil prima dan disukai pendengarnya menimbulkan perjuangan tersendiri sang penyiar untuk tampil prima ,termasuk didalamnya upaya mengolah suaranya agar saat berkomunikasi terasa pas. .Maka munculah suara yang dibuat-buat
. Pertanyaannya adalah apakah menguntungkan atau tidak upaya ini ?.

Dalam kontek dunia penyiar Suara DIBUAT-BUAT adalah pengertiannya kurang lebih begini :

Suatu usaha dan upaya penyiar untuk bersuara dengan target mencapai karakter suara tertentu yang dianggap mampu membuat suara menjadi pas . Umpamanya penyiar sengaja bersuara pelan dengan dengan jarak mic dan mulut dekat supaya terkesan bersuara tebal dan gede .Bahkan ada yang sampai bibirnya penyiar nempel di mic (kayak mau nelan mic) demi mencapai target enak dan pas. Bukan hanya sebatas teori mic tapi juga dengan memainkan bibir ,meainkan logat dan lain-lain Contoh lain seorang penyiar perempuan agar suaranya terkesan tidak seperti ibu-ibu dibuat-buat agar seperti remaja dan terkesan seksi dibuat-buat agar karakter itu tercapai .Itu semua tentu bertujuan untuk performa diudara agar tampil beda dan disukai.

Dalam sebuah obrolan di Kantin seorang teman merasa geli kalau ada penyiar ngomong diudara dengan suara yang dibuat-buat . “saya nggak suka..kenapa tidak yang wajar saja sok keren ,?... teman saya ini membuat diskusi dadakan tentang suara yang dibuat-buat. Karena saat itu penjaga warung kebetulan lagi nyetel radio . Kemudian teman yang lain menyebut seorang presenter TV Pusat ketika baca VO seperti baca deklamasi .tapi ada yang santai menjawab dibuat-buat kalau bagus WHY NOT. Dibuat-buat kelau hasilnya menjadi merusak ya jangan .

YANG TIDAK SETUJU suara dibuat-buat beralasan bahwa dia menyukai suara penyiar yang ALAMI dan WAJAR . Suara yang dibuat-buat akan bikin “keriting kuping” dan bikin geli, norak katanya . Dan YANG SETUJU mengatakan : Suara yang dibuat-buat itu tidak selamanya bikin jelek malah ada yang tambah baik bahkan tambah seksi justru malah itu dianjurkan bahkan diwajibkan untuk bersuara dibuat-buat(nah lho)

Saya tertegun mendengarkan diskusi dadakan itu kelihatannya dua kubu itu sama-sama kuat dengan argumentasinya .Saya malah condong menyetujui kedua-duanya karena dua aliran ini bisa disinergikan . Jadi Pendapat saya setuju banget bahwa suara HARUS ALAMI JANGAN DIBUAT-BUAT dan pendapat kedua memang benar saya juga setuju banget suara yang dibuat-buat itu sah-sah saja yang penting TAMBAH BAGUS (apalagi kalau punya nilai jual) singkatnya : DIBUAT-BUAT ATAU TIDAK YANG PENTING PAS .

Saya juga sering menemukan tipe penyiar yang mampu berkomunikasi diudara dengan dua karakter .Terkadang dibuat-buat terkadang alami ,tergantung kebutuhan . Suara atau karakter vokal penyiar beda-beda ada yang On air atau Off Air suara sama baiknya. Ada juga jenis penyiar yang suara diudara bagus tapi didarat jelek . Ada yang didarat bagus diudara jelek ini mungkin vokalnya tidak jodoh dengan peralatan seperti mic. Jadi Dibuat-buat dengan pendekatan peralatan itu penting apalagi dibuat-buat dengan pendekatan tehnik olah vokal. Untuk itu saya sarankan untuk menentukan apakah suara sesorang pantas untuk dibuat-buat atau tidak . Disinilah pentingnya peran pelatih atau seniornya. Terkadang seorang penyiar entah radio atau TV tidak menyadari suara yang dibuat-buatnya bikin keriting kuping . Tapi adakalanya ada penyiar yang sadar kalau suara jadi-jadiannya itu membuat karakternya tambah bagus sekali tapi tidak digunakan secara kontinyu ,sehingga kadang-kadang suaranya terdengar bagus ujug-ujug keluar suaranya aslinya yang cempreng jelek Dalam kondisi ini namanya ibarat topeng suara yang terlepas . Dalam kondisi ini saya sarankan

Pertama .
Ketika baru jadi penyiar seorang pelatih harus tentukan karakter vokal penyiar. Apakah sang penyiar vokalnya harus dibuat-buat atau tidak. Cocok dibuat-buat atau tidak.

Kedua
Kalau penyiar sadar suara aslinya yang alami itu jelek maka justru wajib hukumnya menciptakan karakter suara yang yang dibuat-buat .Untuk menentukan apakah suara yang dibuat-buat itu bagus rajin-rajinlah minta pendapat atau evaluasi semua pihak atau adakan semacam riset kecil-kecilan.

Ketiga.
Kalau penyiar suara asli sudah bagus baik darat atau udara jangan lagi dibuat-buat. Kalaupun ingin dibuat-buat maka buatlah agar punya dua jenis suara bagus atau lebih .

Keempat
Rajin-rajinlah latihan vokal untuk memunculkan karakter suara yang baik .karena pada dasarnya suara bagus tanpa latihan maka suara anda akan biasa-biasa saja dan bahkan terkesan jelek, Tapi dengan suara yang biasa-biasa tapi ditempa dengan latihan suara /Latihan suara dibuat-buat maka suara anda akan jadi bagus. Kalau tidak punya pelatih pakai konsep PENIRUAN yang saya tulis di blog ini

Ke Lima
Dalam hal membaca berita kaidah baca berita harus wajib diterapkan walaupun vokal dibuat-buat atau tidak Berbahagialah anda sebagai penyiar radio karena suara anda membuat pikiran pendengar berimaginasi jauh dan jauhh…Theatre of Mindnya begituheboh walau tanpa sutradara maka mainkanlah peran vokal kita dengan maksimal.

Suara dibuat-buat dalam dunia Voice Over lebih heboh lagi malah harus ada perlakuan khusus agar bisa dibuat-buat. Dengarkan Voice Over iklan di TV bukankah sebagian ada yang dibuat-buat vokalnya dan ada yang tidak tapi tetap saja kedengarannnya enak (mengenai ini nanti kita bahas khusus lain hari) Apalagi seseorang yang sudah melatih suara diafrgamanya tentu ini sebagai upaya untuk mencapai suara yang dibuat-buat agar tambah oke . (tentang suara diafrgama akan dibahas dalam postingan keberikutnya).

Dengan tidak bermaksud untuk memperlebar cakupan tulisan ini sebenarnya saat ini profesi apapun butuh kelakuan DIBUAT-BUAT. Contoh kecil seorang wajahnya yang bulat bagaimana caranya agar ditangan seorang ahli tata rias terkesan lonjong ,yang pesek dibuat mancung, yang rahangnya persegi terkesan bulat , nah ini tugas tata rias TV. Bukankah inijuga upaya untuk tampil LEBIH BAIK. Tapi kalau tata riasnya tidak profesional , yang cantik bisa jelek dan yang jelek tambah jelek.

Dalam bergaul bukankah ketika kita masuk sekolah kepribadian itu sebagai upaya agar kita mampu membuat kelakuan yang dibuat-buat ?. Tentunya dibuat-buat kearah positip. Ilmu memang harus mampu merubah lebih baik. Sekarang banyak politikus lagi kampanye memberikan bantuan sana-sini dan rakyat sedang dimanja diberi bantuan ini dan itu .Apakah ini upaya kelakuan baik yang dibuat-buat yang sifatnya sementara atau berkelanjutan ?

Seorang photografer apakah dia terbebas dari kelakuan yang dibuat-buat untuk maha karyanya tentu tidak .apalagi sekarang jaman digital hasil karyanya bisa dibuat-buat dengan bebas tak terbatas untuk memuntahkan ekpresinya Selamat menikmati Suara yang DIBUAT-BUAT semoga lebih baik dan Selamat gunakan SUARA ALAMI semoga lebih baik .

Selamat Berjuang Keluargaku
Dhimas HR @Sumber - Bram Wijaya 2009

10 Tips Prepare Menjadi Announcer

Diposkan oleh Dhimas HR Pada 8:13 PM 0 komentar
Menjadi penyiar radio untuk usia SMA atau yang masih duduk di bangku kuliah merupakan satu profesi yang menyenangkan sekaligus membanggakan.Selain menambah uang jajan juga meningkatkan citra diri. Apalagi kalau dapat kesempatan bisa mewawancarai artis idola.Ditambah kalau ada orderan side job untuk menjadi MC, Wow.. Duitpun melimpah ruah gegap gempita hip-hip hura. Tapi tentunya untuk sampai ke garis tersebut diperlukan waktu atau proses yang tidak sebentar.

Aku sendiri memulai menjadi Penyiar radio sejak kelas 2 SMA, lewat proses coba-coba lamar tapi berharap banyak Ternyata, God give me a chance untuk menjadi anak SMA yang akhirnya di’LIHAT’ oleh anak-anak seusiaku yang lain di sekolah. Apalagi ada 1 kejadian yang gak bakalan aku lupakan. Yaitu Ketika pulang sekolah nebeng motor ma sohib, melewati sekolah lain. tiba-tiba ada segerombolan cewek-cewek di depan pagar sekolah mereka teriak ‘Itu SANDI.. Itu Sandi.. SANDI… SANDI!!!” (haha pedenya aku nulis, but u know? aku bangga juga, rasanya seperti dah jadi artis ahaha) Itu pengalamanku yang cuman jadi penyiar daerah yang gak tenar-tenar amat, bayangkan kejadian apa yang terjadi ma penyiar kota-kota besar. pasti respon penggemar lebih besar lagi.Belum lagi kalau sudah jadi MC kondang macam Indy barends, Indra bekti, desta atau yang lebih mantap lagi Oprah Winfrey. (wah Mengkhayalnya sudah sampai menyeberang benua nih)

Stop Dreaming! Untuk mencapai semua itu pasti diperlukan persiapan matang, ntah fisik, mental, pengalaman dan lain-lain. Dan kita bisa mulai dari yang kecil-kecil dulu. Nah sekarang aku akan bagi-bagi 10 langkah persiapan menjadi penyiar radio :

1. Gak ada salahnya membekali diri dengan Hal-hal yang berbau ‘TAMPIL’, entah itu jadi MC sukarela di acara sekolah atau kelompok. Atau bisa juga mengikuti lomba-lomba yang diadakan di kotamu. Seperti lomba bahasa inggris, pidato, baca cerpen dan sejenisnya.Ini juga akan berguna untuk menambah resume di CV lkalau mau kerja di lain.

2. Banyak membaca majalah, koran atau buku-buku. kebayang donk menjadi penyiar radio yang gak tau sama perkembangan informasi atau gak tau istilah-istilah yang lagi IN sekarang. Apa yang bakalan diomongin?

3. Cinta Musik, setidaknya merasa kalau musik itu enak. Ada lho yang gak begitu suka dengerin musik . padahal Radio identik dengan musik. Dan diharapkan musik justru akan menambah Mood siaran.

4. Perhatikan Attitude. Jangan sombong, tulus, tetap rendah hati dan trus belajar. Bukankah pendengar suka dengan penyiar-penyiar seperti itu?

5. Latihan Vokal ucapkan ejaan A-I-U-E-O dengan benar. Kemampuan ini bukan berasal dari bakat, tapi lewat latihan. kalau merasa kamu berbicara seperti orang bergumam, langsung perbaiki. Ucapkan kata-kata dengan tulus dan Jelas. Ikut teater adalah ide yang bagus.

6. GAUL donks. Jalan-jalan, nyoba-nyoba makanan-makanan yang ada di kotamu. Tau kan alasanya?

7. Siapkan surat lamaran yang oke. Cover letter atau surat pengantarnya lebih baik menggunakan bahasa Inggris, sedangkan CV diisi dengan pengalaman-pengalaman yang layak dipamerkan dan tentunya mampu mendukung surat lamaran kita menjadi salah satu kandidat kuat.

8. Kira-kira ortu setuju gak kamu jadi penyiar? Soalnya masih banyak ortu yang kolot yang menganggap kalau menjadi penyiar radio tak ada gunanya. ikuti kata hatimu aja deh.

9. Berdoa “Ya Tuhan, kalau memang ini jalanku tolong dibuka dan dimudahkan. tapi kalau ini bukan yang terbaik, ikhlaskan hati hambamu ini. karena hamba percaya apa yang Engkau berikan adalah yang terbaik bagi HambaMu” (sampai doa juga diajarin hahaha)

10. Biar genap aja ahahaha

Bagaimana? Langsung saja tancapkan bendera. kobarkan semangatmu. Im ready to be a next great announcer! Ciaattt…

Selamat Berjuang Keluargaku
Dhimas HR

Bermodal Hobi Ngobrol dan Bakat Menghibur

Diposkan oleh Dhimas HR Pada 8:08 PM 0 komentar
Bersiaran dapat menjadi sebuah kenikmatan tersendiri bagi sebagian besar penyiar radio. Karena terlalu menikmatinya, mereka bahkan sering tak merasa telah berjam-jam mengudara. Akhirnya aktivitas siaran tak lagi menjadi sebuah tuntutan profesi, namun sudah menjadi suatu apresiasi hobi dan bakat. Hobi dan bakat memang tak dapat dilepaskan dari profesi cuap-cuap di udara ini. Menurut Bambang Mulyadi Wicaksono, penyiar radio Dakta Bekasi, penyiar radio biasanya orang-orang yang memiliki hobi ngobrol. Hobi tersebut dibutuhkan karena para penyiar radio dituntut untuk mampu berkomunikasi secara aktif.

Bakat menghibur juga mesti dimiliki oleh seseorang yang ingin menjadi penyiar radio. Bakat itu diperlukan karena profesi penyiar radio dituntut mampu menghibur hati para pendengar radio. ”Citra industri radio itu identik dengan industri hiburan. Karena itu seorang penyiar radio mesti memiliki bakat entertain agar mampu memberi hiburan kepada pendengarnya,” jelas Azhar Awaludin, penyiar radio Bens.

Karena itu, ucap Bambang menambahkan, seorang penyiar radio hampir sama dengan artis. Pada kondisi apa pun, mereka harus mampu tampil fresh dalam memberikan keceriaan di telinga pendengar radio. ”Meskipun sedang sedih, selama jam siaran penyiar radio mesti mampu membalikkan kesedihan menjadi kegembiraan yang didengarkan kepada pendengar. Karena itu penyiar radio mesti mampu berakting seperti artis,” ungkap Bambang yang bergabung dengan Dakta sejak 1994.

Kekhasan karakter suara juga menjadi modal yang perlu dipersiapkan oleh calon penyiar radio. Modal ini sudah pasti dibutuhkan karena profesi penyiar radio tak lepas dari segala sesuatu yang berhubungan dengan suara. ”Dan setiap radio biasanya memiliki ciri karakter suara masing-masing. Seperti Bens radio yang penyiar radionya memiliki karakter suara nyablak,” ujar Azhar yang sempat mengenyam pendidikan di IKIP Jakarta.

Pendidikan formal tetap menjadi faktor penting yang perlu dipersiapkan oleh calon penyiar radio. Sekarang ini sejumlah perguruan tinggi sudah membuka jurusan broadcasting. ”Seperti di Unpad Bandung, ada jurusan D-3 kepenyiaran,” kata Bambang yang jebolan Universitas Indonesia. Pendapat senada diungkapkanoleh Azhar yang bergabung dengan Bens Radio sejak 1,5 tahun lalu. Menurut lelaki usia 39 tahun ini, untuk menjadi penyiar radio, seseorang sebenarnya dapat menempuh jalur pendidikan apa saja. Karena, pada intinya pendidikan formal dibutuhkan untuk memperluas cakrawala pengetahuan penyiar radio.

Penyiar radio memang harus memiliki pengetahuan yang luas. Pasalnya, seorang penyiar radio terkadang berhadapan dengan situasi yang tak terduga. ”Dalam sebuah siaran interaktif, pendengar radio terkadang memberi pertanyaan di luar topik. Karena itu kalau penyiar radio tak memiliki pengetahuan luas, situasi tersebut dapat menjadi bumerang,” cetus Bambang.

Bambang menambahkan, seorang penyiar radio juga perlu memiliki penampilan yang cukup menarik. Karena, selain bertugas siaran di dalam studio siaran, penyiar radio terkadang bertugas sebagai reporter yang harus mencari berita ke luar kantor sekaligus menyiarkannya secara langsung lewat telepon genggam. Karena berinteraksi dengan aktivitas di luar kantor, lanjut Bambang, penampilan penyiar radio perlu juga diperhatikan untuk menjaga citra perusahaan.

Profesi penyiar radio tak hanya memberi kenikmatan tersendiri bagi para pelakonnya. Pendapatan yang diperoleh penyiar radio juga menyenangkan. Azhar mengatakan, ada dua sistem penggajian yang diberlakukan kepada penyiar radio, yakni sistem full time dan part time.

Pada sistem full time (kerja penuh), gaji penyiar radio dibayar dalam hitungan bulan. Dalam sebulan penyiar radio rata-rata memperoleh penghasilan sekitar Rp 1.000.000 hingga Rp 2.000.000. Sementara itu sistem part time (paruh waktu), bayaran seorang penyiar radio dihitung dalam hitungan jam. ”Bayaran terendah per jam itu dapat mencapai sekitar Rp 5.000 hingga Rp 6.000. Sementara itu bayaran tertinggi per jam yang pernah saya dengar ada yang mencapai sekitar Rp 25 ribu per jam,” imbuh Azhar. ”Namun secara umum, sistem penggajian sangat tergantung pada kebijakan perusahaan masing-masing.” (Republika).*

Selamat Berjuang Keluargaku
Dhimas HR

All About Test Penyiar Radio

Diposkan oleh Dhimas HR Pada 8:00 PM 0 komentar
Ketika lagi kerja tiba-tiba HPku teriak-teriak minta dijawab.Hmm.. jarang-jarang ada yang nelpon aku [..kasihan..], nomornya tak dikenal lagi. Siapa ya?
Seketika itu juga ketika gue buka speakernya, sebuah suara wanita menyapaku. Hey Nope! She is not my fans, tsahh pede.. Yang pasti dari suaranya terdengar jelas kalau ada tersimpan sebuah obsesi yang begitu meluap hingga membuat dia memberanikan diri untuk menelponku. Hehe.. Kamu masuk jebakan singa..Loh emangnya telpon apaan sih san?
“Halo..” kusapa si penelpon dengan penuh keramahtamahan minjam gaya resepsionis hotel. “Halo.. ini sandi ya?” seorang cewek. Dari suaranya kira-kira nih cewek berumur 18-19 tahun. Tapi ah.. suara kan bisa menipu.

Aksen suaranya seakan-akan mengenalkan dirinya kalau dia bukanlah orang daerah, istilahnya gaya ngomongnya itu tipe-tipe gue-elo-gemana-getoh-gitu-loh.. “San gue xxx, tadi gue nyari info tentang penyiar radio di Google, kemudian gue ketemu blog loe yang mengulas persiapan buat jadi penyiar. Thanks banget ya tipsnya”, Oh senangnya hati ini mengetahui tulisanku bisa berguna bagi orang lain.

“Terimakasih kembali non, Oh ya kamu dari kota mana?” gue yang sedang teleponan ketika sedang ngumpul ma orang-orang kantor. langsung disuit-suitin. Dikirain teman-teman Sandi kopi darat nih yee…Hahaha… but ‘cuekay unda’ (yang dibahasa indonesiakan berarti cuek aja gue) “Gue orang bogor san, cuman kul-nya di jakarta. San boleh sharing tentang dunia radio gak?”, “Boleh dong.. tapi maaf banget ya gak bisa sekarang. soalnya aku lagi kerja” jawabku sok sibuk.

Telponpun segera diakhiri tapi komunikasi tidak berakhir pada saat itu saja. Kita sms-smsan [hari gene masanya perang tarif telpon masih sms-an. Cuekay unda..] dan disitu terlihat sangat kalau dia Luar Biasa penuh ambisi dan obsesi untuk mencapai cita-citanya sebagai penyiar radio. Dia juga cerita ketika kuliah dia siaran tapi cuman di radio kampus setelah itu melamar ke radio-radio komersil yang hingga sekarang belum mendapatkan jawaban yang memuaskan. Nggak salah sich, kalau Obsesi bisa segitu dahsyatnya. Apalagi kalau kita masih muda. Iya gak agnes monica..Tapi salah kalau obsesi bisa menjadi penyakit jiwa atau dengan kata lain untuk mencapai obsesi tersebut bikin kita jadi menghalalkan segala cara. NEVER!!!

Tuhan punya rencana sendiri tentang hidup kita, bisa jadi kita gak bakal pernah jadi penyiar radio. Atau kalau memang kita sudah ditakdirkan jadi penyiar radio, sekalipun sebenarnya kita tinggal di gundukan sampah tetap aja kita bakal ngorbit suara lewat udara. Yah.. Tuhan pasti rencana yang luar biasa terbaik daripada cuman rencana sederhana kita sebagai manusia biasa yang diri sendiri aja masih gak ngerti jelas maunya kita. Lepas dari dukungan penuh dari gue buat Loe-Loe yang bercita-cita menjadi Penyiar radio. Di bawah ini gue jabarkan Hal-hal apa saja yang sering jadi penilaian tim HRD buat menyeleksi calon penyiar radio. Mudah-mudahan bisa membantu:

1. Kepercayaan Diri
Tidak ada orang yang suka dengan kepercayaan diri yang too much. Gue pernah menyeleksi calon penyiar yang sangat yakin kalau dia sangat berkompeten dan seakan-akan dia lebih hebat ketimbang penyiar yang ada. Tipe pelamar kaya gini bikin najis tralala. Sok jago bahasa inggris super keren, pengetahuan musik luar biasa tapi setelah ditanya hal-hal yang sebenarnya biasa aja. Malah gak berkutik. That’s garbage.. Sangat tak disarankan juga kalau datang buat wawancara seleksi hanya memiliki mental atau kepercayaan diri krisis. Karena fatalnya akan berdampak pada kemampuan yang seharusnya bisa kita tampilkan all-out tapi 50% kemampuan aja gak nyampai keluar. So, What we should do: KEEP YOUR ATTITUDE [It's very impoten. Upss.. Important!!] Try to be relax, although it’s hard. Take a deep breath dan Jangan terlalu fokus pada gimana kalau-gue-gak-diterima. Karena bisa menampilkan yang terbaik aja sudah syukur. Jadi sekali lagi Tenang. Jangan ngoyo atau terlalu pamer. Kalau memang jalan kita di sana pasti gak bakalan ke mana.

2. Sejauh mana kamu mengenal radio yang kamu lamar.
Dianjurkan pula untuk mengenal seperti apa karakter penyiar di radio yang akan dituju. karena setiap radio biasanya punya karakter gaya penyiarnya masing-masing.
Ketahui programnya maupun nama penyiar yang menyita perhatianmu. coz it will give you point plus. Tim penyeleksi akan mengetahui kalau kamu memang benar-benar interest dan gak main-main dengan radio yang kamu lamar.

3. Seberapa besar motivasimu menjadi penyiar radio.
Jangan katakan kamu melamar karena ingin coba-coba. Haram hukumnya ketika ditanya alasanmu melamar di radio YBS [yang bersangkutan] dan kamu jawab ‘Saya ingin coba-coba, siapa tahu bisa menjadi penyiar di sini’ Oh no.. Never say that. Kamu bisa jawab kalau kamu dari dulu sekali sudah tertarik dengan dunia radio. Dan kamu ingin mengembangkan potensi dengan menjadi penyiar di radio tersebut hingga bisa mewujudkan impianmu menjadi penyiar radio yang profesional. Ciee.. gue banget tuh Atau tentunya kamu punya alasan sendiri-sendiri, asal sekali lagi jangan sampai mengatakan ’saya cuman coba-coba’.

4. Wawasan musik
Kenal musik dan selalu updating info lagu-lagu yang sedang In maupun kabar musisi yang lagi happening. Penting banget untuk mencerminkan seorang penyiar yang bukan hanya bersuara empuk dan lucu tapi juga gaul serta berwawasan luas.

5. Pengucapan kosakata maupun nama musisi dengan benar.
Beyonce dibaca biyonse Bukan biyons. Michele buble dibaca Misel buble Bukan Maikel babel. Request diucapkan rikues Bukan rekues. Month dibaca Manth Bukan mon. Bagi yang suka lagu-lagu bahasa inggris sepertinya bakal terbantu banyak. Tapi bagi yang malah benci bahasa inggris. Hmm.. gak usah jadi penyiar radio aja kali ya.. ahaha kejam.

6. Penampilan.
Sekalipun radio anak muda tetap perlihatkan kalau kamu sangat menghargai wawancara tersebut. Gunakan baju yang bersih dan berpakaian rapi.

7. Karakter suara dan gaya bicara.
Seperti apakah tipikal suara kamu.. berat kayak stenny, serak serak nyess kayak indy barends, anak muda banget kayak indra bekti, atau cempreng kayak seng. Jenis suara terakhir mungkin agak susah diterima kecuali faktor lainnya sangat memepesona. seperti mungkin dia punya personality yang luar biasa, wawasan yang melimpah ruah, asyik. Impossible is Nothing, rite?!!! Memang agak susah menilai jenis suara sendiri, jadi cobalah cari teman yang mungkin seorang penyiar radio dan minta bantuan untuk menganalisa jenis suaramu dan bagusnya cara bicaranya kayak gimana. Atau tetap kaalu ada lowongan penyiar radio ikut aja dulu. Baru minta bagaimana penilaian mas atau mba penyeleksi, tentunya setelah jauh hari di kemudian bukan pas ketika seleksinya.

8. Ketulusan dalam konten Tujuan Menjadi Penyiar
Hal yang paling esensial adalah ketulusan. Maksudnya kamu jadi penyiar karena kamu tulus memang menyukai dunia siaran. Bukan karena ingin cari popularitas, cari duit, nyari jodoh dan tetek bengek unsur-unsur dibalik pelamaran tersebut. Percayalah jika kamu tulus maka hal-hal seperti popularitas, uang dan lain-lain akan datang dengan sendirinya.

9. Ketulusan dalam konten Cara Mengekpresikan Diri
Jelasnya kalau kamu tipikal melankolis romantis gak perlu dipaksa-paksain heboh kayak indra bekti. Atau kalau kamu memang bocor jangan sok jaim tapi juga jangan out-of-control sampai microphone konslet apalagi kalau bahan omongan miskin isi maupun No kreativitas di dalamnya.
Be you. Jadilah diri sendiri. Karena tiap orang unik. Jadi kamu cukup menampilkan diri kamu sendiri yang memang sudah terlahir unik tanpa ngikut-ngikutin gaya lain. Kalau terinfluence sih wajar. Tapi jangan Copy Cat. Kalau ngikut-ngikut kamu akan selalu jadi nomor dua. Tapi kalau jadi diri sendiri kamu bisa bebas berekspresi. Bangalah menjadi diri sendiri.


Jadi sekali lagi mudah-mudahan tulisan ini bisa bermanfaat. Jika punya mimpi, wujudkan. Jangan menunggu. Karena yang menunggu adalah cuman jatahnya si mimpi. Sedangkan tugas kita adalah bergerak untuk menjemput mewujudkan mimpi tersebut. Mimpi takkan berarti apa-apa tanpa kita pernah berusaha mewujudkannya.

Sukses buat kamu calon penyiar radio legenda hihihi..
Selamat Berjuang Keluarga
Dhimas HR

Penyiar Gajinya Kecil…Siapa Bilang ?

Diposkan oleh Dhimas HR Pada 7:56 PM 0 komentar
Alasan ke dua kenapa saya ga’ setuju kalo dibilang gaji penyiar radio kecil adalah karena emang gajinya gede. Lho, kok ?

Ya emang betul. Penyiar yang kreatif, mau berkembang, selalu berpikiran positif dan….. banyak job ngeMC-nya, pasti ‘gajinya’ gede. Ga’ kurang sebulan bisa 2 juta lebih masuk kantong. Bayangin, dapet job ngeMC 2 jam aja, ga’ pake terlalu mandi keringet, ga’ pake mikir yang sampe bikin botak, paling dikit 250-300 ribu kepegang tangan. Nah, itung aja berapa yang bakal dia terima kalo job MC nya sebulan sampe 10 kali misalnya. “Lho tapi itu kan beda ?” Begitu mungkin menurut anda, “Yang gede kan gaji dari MC ?” Iya emang betul. Tapi kalo dia bukan penyiar radio, jobnya enggak bakal sebanyak itu. Harganya pun pasti gak setinggi itu. Semuanya bisa terjadi karena latar belakangnya sebagai penyiar radio.

So kalo mau adil kasih penilaian, ya harus satu paket dong. Maksudnya, kalo dbilang gaji penyiar itu kecil, tapi dari MC dia dapat gede, ya namanya gajinya gede. Karena itu 1 paket. Gak mungkin take home paynya segede itu (2 jam kerja dapet duit ratusan ribu), kalo tanpa ada faktor embel-embel penyiar radio. Terus, gimana dong buat penyiar yang gajinya kecil dan ga’ punya job MC ? Apa masih bisa dibilang gajinya gede ? Ya balik lagi ke alasan pertama. Besar kecil itu kan relatif. Tergantung pembandingnya dan cara memprogram otak kita.

Tapi masa’ iya sih penyiar radio ga’ bisa kreatif cari duit ?? Bukankah seperti kata Aa’ Gym, rezeki itu harus kita jemput. Nah, tinggal kita mau enggak jemput rezeki yang udah disiapin Allah ? Yo’ opo menurutmu rek ?

Selamat Berjuang Keluargaku
Dhimas HR

Jurnalistik Radio: Peluang Karier Scriptwriter

Diposkan oleh Dhimas HR Pada 7:52 PM 0 komentar
By romeltea
“Kang, susah ya cari scriptwriter, ada yang bisa direkomendasikan?” Begitu kira-kira “curhat” seorang manajer radio di Bandung, saat radionya membutuhkan seorang scriptwriter dan membuka lowongan, namun tak satu pun pelamar lolos seleksi. Lagi pula, pelamar kebanyakan justru mengincar posisi penyiar.

Scriptwriter (SC, penulis naskah) adalah satu “radio job”, posisi penting di divisi program. Bekerja di bawah koordinasi Program Director (PD) atau Manajer Program, SC bertugas menulis naskah siaran untuk disampaikan oleh para penyiar, seperti tips, info ringan, bahkan iklan baca (adlibs) –yaitu iklan yang disuarakan langsung oleh penyiar di sela-sela siarannya–juga sering dikerjakan oleh SC atas permintaan bagian iklan.

Biasanya, SC sekadar menulis ulang (rewriting) naskah yang dikutipnya dari berbagai sumber –suratkabar, majalah, tabloid, media online, termasuk rilis pers (Press Release). Tugas itu sebenarnya simpel, mudah, yakni “hanya” mengubah gaya bahasa tulisan menjadi bahasa lisan atau bahasa tutur (conversational langguange); mengubah kata-katanya menjadi kata-kata yang biasa diucapkan sehari-hari (spoken words), selain mengoreksi tata bahasanya menjadi lebih logis, singkat, sederhana, dan mudah dimengerti.

Dengan demikian, seorang SC mestilah menguasai kaidah tata bahasa, bahasa baku, dan bahasa jurnalistik (bahasa media yang berkarakter hemat kata, singkat, logis, mudah dimengerti, dan lain-lain). Tentu, selain terampil secara teknis, SC juga harus berwawasan luas, rajin baca, karena ia juga menjalankan peran sebagai editor yang harus paham benar substansi atau materi yang ia susun.

SC hanyalah satu dari sekian “radio job” yang bisa diisi oleh lulusan jurusan jurnalistik. Di jurusan ini, lazimnya ada mata kuliah jurnalistik radio (radio journalism). Dengan mata kuliah ini, minimal mahasiswa mampu memahami dan menguasai teknik jurnalistik radio, seperti penulisan naskah siaran, utamanya naskah siaran berita, “siap pakai” menjadi reporter radio, penyaji berita (news presenter), pembaca berita (news reader), bahkan jangkar berita (news anchor).

Ilmu dan teknik jurnalistik radio juga merupakan modal utama bagi Direktur Pemberitaan (News Director) ataupun Editor Berita (News Editor) dan jajaran di bawahnya. Penyiar pun idealnya menguasai ilmu jurnalistik radio agar saat menyampaikan informasi/berita, dia patuh pada kode etik jurnalistik dan kaidah pemberitaan (code of conduct).

Sayangnya, ada kesan, minimal kesan yang saya punya, para penyiar merasa tidak atau kurang tertarik belajar jurnalistik. Anggapannya, jurnalistik mah, cenah, ilmu wartawan, bukan ilmu penyiar. Sebuah anggapan yang keliru. Pasalnya, penyiar juga sering memerankan wartawan, khususnya saat ia menjadi penyiar program berita, baca adlibs, atau sekadar menyampaikan tips di sela-sela siarannya. Tidak jarang penyiar siaran pagi (program berita) melanggar kode etik jurnalistik, misalnya saat menyampaikan berita ia “recoki” dengan opini. Beruntunglah, Komisi Penyiaran pun tampaknya “masih tidur” sehingga tidak memantau siaran berita radio yang banyak melanggar kode etik jurnalistik atau kode etik penyiaran; atau official KPI-nya sendiri tidak paham jurnalistik? Wallahu a’lam.

Peminat jurnalistik radio, juga peminat profesi penyiar dan scripwriter, dapat membaca buku saya, Broadcast Journalism: Panduan Menjadi Penyiar, Reporter, dan Scriptwriter, Penerbit: Nuansa Cendekia, Bandung, SMS Markerting: 0818 638 038. Hehe… UUP, Ujung-Ujungnya Promosi!

Selamat Berjuang Keluargaku
Dhimas HR

Penyiar Profesional "Gak Cukup Dengan Suara Bagus"

Diposkan oleh Dhimas HR Pada 7:45 PM 0 komentar
Suara Emas (Golden Voice) adalah modal utama penyiar. Tapi ketahuilah, suara bagus saja tidak cukup untuk menjadi penyiar pro. Suara bagus akan menjadi tidak bagus, gak enak didengar, jika sang pemilik suara sering mengatakan “OK”, “yang pasti”, atau “pastinya” secara berulang-ulang alias latah!

Kita juga sering melihat atau mendengar seorang MC yang “mengobral” kata-kata “OK”. Entah berapa ratus kata “OK” yang meluncur dari mulutnya selama ia berbicara. Mengenai hal itu, kita simak apa yang pernah dikemukakan MC kawakan, Krisbiantoro. Suatu ketika, ia berada di acara yang sama dengan MC muda usia, 20-an tahun. Krisbiantoro yang sudah dikenal pada awal 1970-an itu prihatin karena MC muda itu meneriakkan kata “OK” sampai ratusan kali.

Krisbiantoro lalu menanyakan soal obral kata “OK” itu. “Saya bilang sama dia, ’Mbak-mbak, mbok ya okay-nya dikurangi’.” Dengan jujur, pembawa acara muda itu mengaku. “Iya Oom, kadang saya blank (kosong) dan tak tahu harus ngomong apa,” kata Kris menirukan rekan mudanya (Baca ASM. Romli, Kiat Memandu Acara: Teknik MC & Moderator, Nuansa Bandung, 2006). Begitulah “si oke” menjadi senjata ampuh untuk mengisi kekosongan seorang MC atau penyiar radio. Dalam pendapat Krisbiantoro, rentetan kata “oke” itu muncul dari kedangkalan wawasan dan ketidaksiapan sang presenter. Kedangkalan atau keterbatasan wawasan itu pula yang kemudian melahirkan tabiat yang di mata penonton/pendengar terasa aneh, lucu, dan memuakkan.

“Untuk menghindari kekosongan itu kita sering melihat sepasang pembawa acara teriak-teriak, sedangkan yang lain tepuk tangan sendiri lalu tertawa sendiri,” kata Krisbiantoro (Kompas, 21 November 2004). Ini soal nonteknis. Soal wawasan ini penting banget, tidak boleh diabaikan. Kelancaran bicara bergantung pada wawasan penyiar. Penyiar yang tidak punya wawasan atau pengetahuan yang banyak, siarannya akan ”kering”, cuma ”say hello”, sering mengulang kata yang sama seperti kata “OK” tadi, dan kirim-kirim salam doang, trus puter lagu. Ah, ’dak ada isinya!

Untuk memiliki wawasan yang luas, penyiar harus rajin baca –baca koran tiap hari, majalah, artikel, buku, juga sering nonton berita televisi dan acara lainnya. Lebih baik lagi jika penyiar sering ikut hadir dalam acara diskusi, seminar, dan semacamnya. Penyiar bisa menjadi andalan pendengar tentang banyak isu atau kejadian. Meraka, pendengar, selalu menganggap penyiar itu pergaulan dan wawasannya luas, sehingga ”banyak tahu” dan ”tahu banyak”. Penyiar harus in-touch dengan apa yang sedang menjadi pusat perhatian masyarakat. Dengan kata lain, kita harus “gaul” seperti mereka.

Lagi pula, bisa jadi penyiar setiap hari berhadapan dengan naskah yang berbeda. Nah, dalam menggunakan naskah itu sebagai bahan siaran, misalnya tips atau informasi aktual (berita),penyiar harus paham betul isi naskah itu. Belum lagi kalau harus siaran talkshow, bincang-bincang dengan narasumber. Tak jarang ’kan, narasumber atau bintang tamu mengemukakan topik atau istilah yang ”aneh-aneh”, disangkanya penyiar akan selalu mengerti.

Dijamin, kalo penyiar banyak baca, sehingga banyak tahu dan tahu banyak, siarannya akan berkualitas, ”bernas”, berisi, intelek, dan disukai pendengar. Siarannya tidak cuma bermodal suara bagus, tapi juga wawasan yang luas. Itulah sebabnya, tidak sedikit radio mensyaratkan penyiarnya minimal D3, pernah kuliah, jurusan apa saja, tidak mesti jurusan broadcast atau penyiaran. Orang yang pernah kuliah diasumsikan ”haus ilmu” dan ”daya nalar”-nya terasah semasa kuliah. Pengalaman akademis dan intelektualnya sangat menunjang dirinya dalam siaran yang didengar banyak orang dengan berbagai tingkat kecerdasan dan pengetahuan. Karena pada intinya, pendidikan formal itu dibutuhkan untuk memperluas cakrawala pengetahuan.

Penyiar juga terkadang berhadapan dengan situasi yang tak terduga. ‘Dalam sebuah siaran interaktif, pendengar radio terkadang memberi pertanyaan di luar topik. Tentu saja, selain wawasan, penyiar juga harus menguasai teknik vokalisasi dan verbalisasi yang baik, sense of humor, sense of music, pemahaman alat siaran, pemahaman dan wawasan musik/lagu, dan sebagainya.

Buat para penyiar, selamat meluaskan wawasan… give your best announcing to your Family's!
Dhimas HR

Menjadi Penyiar Radio (Sebuah Rangkaian Tulisan)

Diposkan oleh Dhimas HR Pada 7:22 PM 0 komentar
Siaran Itu.......
Kalau ditanya profesi yang saya senangi, mungkin jawaban menjadi penyiar radio akan keluar lebih dahulu dari mulut saya. Sebuah profesi yang dulu hanya terbersit di kepala ketika mendengarkan suara dari radio kesayangan semenjak saya duduk di bangku sekolah. Radio menjadi teman terbaik saya dikamar, menikmati kesendirian tanpa perlu merasa sepi. Suara musik ditambah dengan suara penyiar membuat hari-hari saya menjadi lebih cerah.

Dulu, banyak nama yang kehadirannya selalu saya nantikan untuk membuat hari menjadi lebih bersemangat. Ambil contoh saat Poetri Suhendro yang dulunya bersiaran di Radio Female, menjadi sahabat saya setiap pagi dalam perjalanan ke kantor. Gaya siaran yang synical akan issue-issue faktual membuat saya betah menjalani perjalanan menembus belantara Jakarta yang penuh kemacetan. Siapa sangka orang yang dahulu hanya bisa dikagumi dari jauh kini bersiaran di radio yang sama dengan saya, bahkan beruntung bisa menjadi partner siarannya untuk beberapa kali.

Semua diawali dari mimpi. Kalau banyak orang yang bertanya pada saya, kok bisa sih No loe jadi penyiar radio? Saya selalu jawab dengan kata-kata: kenapa tidak? Semua diawali dengan usaha! Ada beberapa hal yang memang harus dilakukan kalau kita ingin mendalami sebuah profesi, mungkin pengalaman berharga yang saya alami bisa saya share di blog ini:
  1. Beranilah untuk bermimpi. Dulu ada pameo yang sering saya dengar, bahwa jangan punya keinginan terlalu tinggi, nanti kalau gak dapet malah sakit. Tapi sekarang saya percaya, justru kita hidup sekarang karena mimpi-mimpi kita dimasa lalu. Di saat diri kita punya keinginan yang biasa-biasa saja, maka yang diperoleh juga biasa-biasa saja. Contohlah beberapa orang yang menurut kita sukses di karirnya. Saya percaya bahwa mereka adalah pejuang yang berusaha keras untuk mewujudkan semua mimpi-mimpinya terdahulu. Kalau dulu mimpi jadi penyiar radio tidak pernah saya anggap serius, ternyata diwujudkan oleh Allah SWT, apalagi kalau keinginan itu sebuah serius?
  2. Teruslah berusaha mewujudkan. Kunci dari sebuah pencapaian adalah kalau kita tidak berhenti berusaha. Pengalaman sayalah yang membuktikan kebenaran dari teori ini, guaranteed!. Di angkatan saya masuk sebagai penyiar di IRadio tahun 2002 yang lalu, saya termasuk yang paling terakhir mendapatkan jatah siaran. Kenapa? karena dulu kualitas suara saya adalah yang terbelakang di antara teman-teman lainnya. Tapi keterbelakangan itu tidak menyurutkan saya untuk tetap berusaha. Lha wong sudah tanggung masuk, kenapa gak menceburkan diri sekalian? Saya tetap berlatih dan berusaha, bahkan ketika sudah naik on air saya masih terus belajar untuk memperbaiki kualitas siaran. Learning process will never end, bahkan ketika kita sudah bisa mencapainya.
  3. Memulai. Inilah proses yang paling berat bagi sebagian kita. Memulai apa emang No? Balik ke pertanyaan banyak orang, kalau mau jadi penyiar radio, mulailah mendengarkan gaya dari beberapa penyiar dari banyak radio, supaya kita dapat banyak variasi gaya siaran. Pelajari dengan seksama, lalu cobalah untuk merekam suara kita sendiri. Tulislah sebuah script pendekyang berdurasi baca 1 menit, memuat sebuah info penting yang ceritanya ingin anda sampaikan ke pendengar. Gak perlu suara enak dulu, yang penting memulai. Rekam suara, lalu dengarkan. Sudahkah enak “secara gaya” didengar oleh orang lain? Kalau belum, teruslah diulang, sampai kita merasa ini sudah yang terbaik yang bisa kita lakukan.
  4. Mengirim. Simpanlah suara itu dalam sebuah materi perekam, bisa CD ataupun kaset, lalu segera kirimkan ke radio yang ingin dituju. Jangan malu dan takut jelek, karena semua profesi dimulai dari belajar. Dengan melewati proses memulai dan merekam ini, maka kita sudah melewati tahapan yang paling sulit untuk menjadi penyiar radio, menaklukkan diri sendiri.
Selamat Berjuang Keluargaku
Suara - Ariono Hadipuro, Announcer for IRadio 89,6fm.
Dhimas HR

Barcode...Be Carefull

Diposkan oleh Dhimas HR Pada 3:23 AM 0 komentar
Barcode atau Kode garis-garis batangan bukan barang baru bagi kebanyakan orang. Hampir di seluruh produk buatan pabrik, bahkan kini di banyak produk rumahan, semuanya mencantumkan kode batangan ini. Kode yang terdiri dari garis-garis dengan ketebalan yang bervariasi oleh banyak kalangan dianggap sebagai sesuatu yang mempermudah pengidentifikasian suatu barang.

Barcode ini lahir di Amerika Serikat pada awal tahun 1970-an.
Pada awalnya orang banyak percaya bahwa pencantuman Barcode pada suatu produk pabrikan semata hanya untuk mempermudah pengindentifikasian dan klasifikasiannya. Namun pada perkembangannya kemudian, Barcode dicurigai sejumlah kalangan sebagai salah satu alat bagi pihak Konspirasi Internasional untuk menguasai dunia menuju apa yang sekarang dikenal dengan istilah “The New World Order”, Tata Dunia Baru. Suatu keadaan di mana seluruh negara-bangsa di dunia ini tunduk pada kekuasaan Amerika Serikat.

Dengan ambruknya imperium Soviet Rusia di paruh akhir 1980-an, maka situasi dunia kian cepat menuju ke arah ini, di mana Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adidaya yang tiada tandingannya di seluruh dunia.Perkembangan demi perkembangan global ini, membuat kalangan yang sejak awal mencurigai ada misi tersembunyi di balik penggunaan Barcode, semakin yakin dengan kecurigaannya. Mereka kebanyakan berlatarbelakang sebagai Simbolog, Penulis, Peneliti, dan Pengkaji Alkitab.

Salah satunya adalah Mary Stewart Relfe, PhD. Perempuan pengusaha sukses dari Montgomerry, AS, yang juga berprofesi sebagai seorang pilot sekaligus instruktur peralatan Multi Engine Instrument Flight, telah menulis dua buah buku best-seller yang menyoroti konspirasi ini. Salah satunya berjudul “666 The New Money System” (1982). Dalam bukunya tersebut, Mary Stewart yang juga seorang pengkaji Alkitab, sejak kecil sangat yakin bahwa penggunaan Barcode terkait erat dengan rencana-rencana tersembunyi dari konspirasi untuk menguasai dunia.

Tiga Tahapan
Menurut Stewart, upaya Konspirasi untuk menguasai dunia dalam hal pengidentifikasian dan pengendalian dunia terbagi dalam tiga tahapan: tahap pertama dimulai tahun 1970 yang dijadikan titik awal bagi langkah-langkah ini. “Tahun ini merupakan awal bagi mereka dalam memberikan identifikasi pada tiap barang yang ditandai dengan angka pada tingkat manufaktur. Barcode mulai digunakan, diselaraskan dengan sistem komputerisasi yang mampu membaca kode-kode tersebut, ” tulis Stewart. Sasaran utama tahap ke satu ini adalah untuk menyeragamkan sistem dan pabrik komputer raksasa di seluruh dunia, agar mampu mengenali kodifikasi di atas.

Tahap kedua dimulai tahun 1973. Penggunaan Barcode yang awalnya diterapkan pada barang manufaktur, kini mulai diterapkan pada manusia, antara lain lewat nomor kodifikasi Angka Kesejahteraan Sosial (The Social Security Number) yang digabungkan dengan sistem pemberian angka secara universal. Penggabungan dua kodifikasi angka ini menjadi kode-kode batangan (Barcode) yang mirip dengan Barcode pada produk manufaktur yang telah diterapkan tiga tahun sebelumnya.

Awalnya diterapkan pada kartu-kartu pintar seperti Credit Card, Debit Card, ID Card, dan sebagainya. Namun pada perkembangannya juga mulai diterapkan pada manusia. Target utama tahap kedua ini adalah pemerintahan, perbankan, dan perusahaan-perusahaan pembuat kartu-kartu pintar (Smart Card).

Tahap ketiga meliputi usaha untuk mengidentifikasikan setiap macam yang ada di dunia ini, baik yang bergerak maupun yang tidak. Semua pengidentifikasian ini berguna untuk mengetahui sisi lemah suatu kelompok, wilayah, bahkan suatu bangsa, yang nantinya bisa dijadikan senjata bagi Konspirasi.

Angka Iblis
Para pengkritisi Barcode berhasil menemukan salah satu rahasia paling vital dari kode-kode batangan ini. Semua Barcode atau yang juga dikenal sebagai Universal Product Code (UPC) Barcode memiliki angka 666 dan 13. Untuk mengetahuinya, silakan melihat Barcode yang ada di berbagai produk. Perhatikan jumlah angka yang ada di bawah garis-garis batangan. Jumlahnya selalu 13 angka. Angka 6 yang disimbolkan dalam kamus Barcode terdiri dari dua garis tipis saling berhadapan terletak di sisi paling kiri dan paling kanan Barcode, dan satunya lagi garis paling tengah.

Ketiga
Garis yang melambangkan angka 6 ini lebih panjang dibanding garis-garis lainnya. Jadi, seluruh UPC Barcode yang tersebar di dunia ini memiliki rangka 666. Dalam bukunya, Mary Stewart Refle mengutip salah satu ayat Alkitab: “Dan ia menyebabkan, sehingga kepada semua orang, kecil atau besar, kaya atau miskin, merdeka atau hamba, diberi tanda pada tangan kanannya atau pada dahinya. Dan tidak seorang pun yang dapat membeli atau menjual selain daripada mereka yang memakai tanda itu, yaitu nama binatang itu atau bilangan namanya. Yang penting di sini ialah hikmat: Barangsiapa yang bijaksana, baiklah ia menghitung bilangan binatang itu, karena bilangan itu adalah bilangan seorang manusia, dan bilangannya adalah: 666” (Wahyu 13: 16-18) Stewart meringkas bahaya dari Konspirasi dalam hal Barcode: “Penerapan teknologi Barcode pertama kali dilakukan pada produk barang, disusul kemudian pada kartu, dan akan berubah menjadi sesuatu yang mengerikan dalam masyarakat yang tidak lagi menggunakan uang kontan… “Singkatnya, konspirasi akan menumpuk dan menyedot uang kontan masyarakat ke dalam lemari besi mereka, juga emas dan segala batu mulia, serta mengunci rapat-rapat lemari itu, sedang ke tengah masyarakat mereka hanya memberikan ‘uang plastik’ dengan nominal tertentu.

Inilah tipu daya mereka sehingga semua manusia pada saatnya nanti akan tunduk pada konspirasi. “Semuanya ini hanya terjadi dalam satu masa bagi seluruh umat manusia, yakni pada hari akhir zaman, ” ujar Stewart. Wallahu’alam bishawab. (Rz)

Dhimas HR

Apakah masih Ada yang Bisa Kita Banggakan?

Diposkan oleh Dhimas HR Pada 3:10 AM 0 komentar
KETIKA dihubungi oleh salah seorang koresponden harian ini, saya agak terkejut mendengar pertanyaan `sepele` yakni, "Mas, apa yang bisa kita pamerkan kepada bangsa lain selain segala macam berita yang buruk mengenai kita?" Saya segera membayangkan bahwa dunia ini sebuah ruang pameran yang sangat luas, atau deretan etalase, tempat memamerkan kebanggaan bangsa-bangsa yang masing-masing memiliki kekhasan. Dan, kekhasan yang bisa dibanggakan Indonesia tak lain adalah segala macam berita yang ditawarkan atau dijual oleh begitu banyak media massa asing, yang beberapa di antara kemudian dikutip juga oleh media massa kita sendiri. Tentu saja media massa kita sendiri pun harus bersaing menyiarkan pelbagai berita yang bisa dipasarkan. Aceh, Ambon, Bulog, Gus Dur, Tommy, dan BI adalah beberapa contoh saja dari barang dagangan yang dianggap laku dijual.
Tetapi itu semua memang tugas media massa, kita tidak boleh berpikiran macam-macam. Singkat kata, segala berita yang disiarkan ramai-ramai itu menyebabkan kita berkesimpulan bahwa kita sudah benar-benar ambruk. Benar-benar terpuruk lahir-batin, meskipun dalam kenyataannya kita semakin banyak membeli mobil mewah, kita masih bisa tertawa atau ditertawakan seperti ketoprak humor, naskah sastra menumpuk di laci redaksi koran, dan sebagian besar orang kota masih tetap memadati mal dan supermarket. Kita malah suka menyebut diri kita bangsa halus budi bahasanya meskipun suka berbunuh-bunuhan, bangsa yang ramah meskipun sekarang lebih suka menyeringai, dan bangsa yang punya tradisi gotong-royong meskipun nyatanya lebih bangga jika bisa ikut-ikut meributkan hal-hal sepele.

Tetapi, semua yang menyenangkan itu toh tidak bisa menghapus kesimpulan mengenai bangsa kita sendiri. Kita ini sudah sama sekali hopeless, tidak ada harapan, di samping tidak ada yang bisa kita pamerkan (kepada bangsa lain). Mungkin hanya pariwisata yang bisa dijadikan akses untuk pembicaraan selanjutnya. Dalam kerangka berpikir mengenai etalase itulah, saya akan menyampaikan pengalaman saya sendiri melihat salah satu bangsa yang juga sering kita sebut dalam setiap pembicaraan, yakni Jepang. Dalam etalase negeri ini, tentu saja tidak perlu lagi dipamerkan hasil teknologi yang telah dicapainya sebab segala yang bisa dibuatnya sudah menjulur ke sana ke mari bagaikan belalai gurita. Betapa pun kayanya ia, dan betapa pun kuatnya globalisasi yang merangsek masuk, ia tetap terus-menerus berusaha sebaik-baiknya untuk tetap menjadi Jepang. Yang tak lain berupa paradoks, yakni klasik sekaligus modern.

Beberapa waktu yang lalu, ketika itu awal musim semi, saya bersama seorang pakar musik, Suka Hardjana, mendapat kesempatan untuk menjadi `turis` di Jepang selama dua minggu. Pada hari pertama, untuk kami telah dipersiapkan tiket untuk menonton pergelaran musik klasik oleh Tokyo Philharmonic Orchestra. Kami mendapat tempat di larik paling depan dan tepat di tengah sehingga merasa seolah-olah pergelaran itu memang diselenggarakan untuk kami. Meskipun terus terang saja, saya tidak terbiasa menonton pergelaran semacam itu (paling hanya mendengar dari CD), telinga saya berusaha sebaik-baiknya untuk bisa menangkap keindahan pergelaran itu.

Yang menarik perhatian saya adalah banyaknya anak muda yang menonton, mengenakan celana jins dan jaket karena udara masih dingin, tentu bukan karena AC saja. Mereka tenggelam dalam pergelaran itu dan dengan tepat memberikan aplaus setiap sebuah lagu diselesaikan. Anak-anak muda itu tentulah generasi baru orang Jepang yang sudah sejak lama mengembangkan segala jenis hasil kesenian --yang berasal dari mana pun. Jika menyenangi musik jazz, kita tentu masih ingat salah satu grup jazz internasional berasal dari Jepang, Cassiopea. Setelah itu saya dan Suka Hardjana berpisah mengikuti rute `turis` sendiri-sendiri, dan selama dua minggu saya dipandu mengunjungi sejumlah besar tempat pariwisata yang penting, yang selalu penuh sesak dengan turis, terutama turis lokal --kebanyakan pasangan orang tua yang masih kuat berjalan naik-turun bukit beberapa kilometer jauhnya. Yang sampai sekarang masih lekat dalam ingatan saya adalah bunga sakura, yang membuat saya merasa seperti mabuk.

Di hari terakhir, kami berdua bersama lagi. Bagi kami, sudah tersedia tiket untuk pertunjukan ketoprak atau ludruk Jepang, yakni kabuki, di Tokyo. Tempat duduk penuh meskipun pertunjukan dua kali sehari. Penontonnya terutama `turis` lokal yang sudah tua-tua, berbeda dengan pergelaran musik klasik dua minggu sebelumnya. Dalam benak saya muncul perasaan aneh; saya masuk Jepang lewat musik Barat dan meninggalkannya lewat teater Timur. Di sela-selanya ada begitu banyak keraton, rumah pemujaan, dan pemandangan yang saya saksikan. Semua itu kebanyakan terekam dalam benak dan hasil potretan saya, namun ya `hanya` berupa gambar. Satu-satunya yang masih saya miliki dan selalu saya ulang menghayatinya adalah sebuah buku kecil yang dihadiahkan oleh Wing Kardjo, seorang sastrawan dan guru besar di sebuah universitas di Kyoto. Buku mungil itu adalah kumpulan cerpen mini Kawabata Yasunari yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris Terutama dari buku itulah ternyata saya bisa menghayati Jepang. Buku itu adalah bangsa dan kebudayaan Jepang yang portable, yang mudah dijinjing ke mana-mana dan bisa dihayati sampai entah kapan. Di dalam buku mungil itulah, terekam hampir semua yang saya hayati selama dua minggu awal musim semi itu. Kumpulan cerpen itu adalah Jepang, seperti halnya haiku dan tanka.

Apakah kita memiliki semua seperti yang dipamerkan bangsa Jepang itu? Jawabnya positif. Yang negatif adalah gambaran mengenai Indonesia seperti yang sudah disinggung di awal karangan ini. Gambaran negatif itu bahkan merembes ke dalam segala aspek kehidupan kita, termasuk kesenian. Sastra, seni rupa, teater, dan musik - misalnya - bahkan juga ikut mengumandangkan gambaran negatif itu. Kadang-kadang agak berlebihan, mungkin karena ingin menyaingi hiruk-pikuknya berita koran. Kita seperti sama sekali tidak punya apa pun untuk dipamerkan, padahal kita punya berbagai jenis kesenian. Tetapi mengapa mesti kesenian? Ya, karena setidaknya itulah kekayaan milik kita yang sekarang ini tidak dianggap sebagai barang impor. Tetapi, media massa di mana pun tidak akan menyebarluaskan berita tentang `anjing menggigit manusia`, bukan? Tidak begitu berminat menanggapi pameran lukisan, misalnya, kecuali yang ada huru-haranya seperti rencana pamerean lukisan yang oleh sementara kalangan dianggap palsu tempo hari. Di Jepang sama saja. Kabuki dan cerpen mini Kawabata tentu saja tidak bisa dijual di koran-koran. Yang laku adalah debat di parlemen, nilai yen yang sempat merosot terhadap dolar, dan penggusuran perdana menteri.

Etalase budaya yang saya lihat saksikan di Jepang itu jelas menyangkut kerja keras dalam perancangan maupun pelaksanaannya. Harus diakui bahwa merancang etalase semacam itu untuk negeri kita jelas lebih sulit, dan oleh karenanya memerlukan kerja yang lebih keras. Jika Jepang sering dikategorikan sebagai bangsa yang monokultur, kita ini bangsa yang bineka dalam segenap aspek kehidupan. Jika berhasil, kita tentunya bisa memiliki etalase yang menarik perhatian bangsa asing maupun kita sendiri sehingga anak-anak tidak lagi suka tawuran dan orang tidak tertarik lagi untuk berdemonstrasi setiap hari. Tetapi, tampaknya sampai hari ini kita lebih tertekan oleh berita mengenai merosotnya nilai rupiah, yang kemudian dikait-kaitkan dengan ucapan aneh-aneh para pemimpin politik.

Kita tentu saja tidak bisa mengharapkan banyak dari media massa asing (dan kita sendiri, tentu saja) untuk memamerkan dan membanggakan sisi lain dari Indonesia. Sudah sangat sering kita mengirimkan misi kesenian ke luar negeri, antara lain sebagai semacam alat untuk menarik investor asing. Namun, berapa lama semua itu mampu menetap dalam benak sejumlah orang yang menghadiri pagelaran kesenian seperti itu, dan yang sangat mungkin tidak berminat terhadapnya? Saya tidak sama sekali menolak pentingnya kegiatan itu, tetapi hanya sekadar mengajukan kenyataan bahwa kita punya lebih dari yang sudah saya sebut itu. Dari yang bisa diangkut keluar, seperti tarian; sampai dengan yang tidak mungkin diusung ke luar, seperti Borobudur. Itu yang bisa kita banggakan sebab upaya memamerkan pesawat terbang buatan sendiri tampaknya tidak kita minati lagi, mungkin karena menurut sementara orang itu memang merupakan hal yang rada-rada absurd.

Pengalaman saya di Jepang itu adalah bagian dari pariwisata, meskipun saya sepenuhnya dibiayai sebuah lembaga Jepang. Sepanjang pengalaman saya itu, pariwisata Jepang terutama adalah wisata budaya, bukan wisata alam. Kita, kalau mau, malah bisa mengembangkan keduanya meskipun tampaknya lebih banyak perhatian kita pusatkan pada wisata budaya juga. Menyinggung hal ini, mau tidak mau kita harus menyebut-nyebut Bali. Ada sejumlah pantai yang bisa kita `jual` atau kata lain untuk `pamerkan` atau `banggakan.` Di samping itu ada pula berbagai jenis upacara dan bentuk kesenian yang menarik perhatian turis, bangsa sendiri maupun bangsa lain. Mungkin saja ada sejumlah turis yang sepanjang hayatnya akan mengenang Bali dan segenap isinya, tetapi Bali `hanya` sebagian dari Indonesia -- meskipun saya pernah ditanyai seorang asing di negeri asing apakah Indonesia itu bagian dari Bali. Itu berarti kita sudah berhasil `menjual` Bali, salah satu kebanggaan kita.

Kita suka membayangkan bahwa turis asing di Bali hanya suka berjemur di Pantai Kuta atau menyaksikan sejumlah besar pura dan puri. Mereka kita anggap gerombolan manusia yang datang ke Indonesia untuk menghabis-habiskan waktu saja, yang sebelum pulang ada yang mengumpulkan suvenir berupa kain sarung atau patung kecil atau gambar batik. Kita suka lupa bahwa sebagian dari mereka itu adalah orang-orang yang melek budaya, tidak sekadar melek huruf. Sebagian dari mereka bisa kita klasifikasikan sebagai orang-orang yang dalam bahasa Inggris dianggap lettered atau cultured. Mereka tentu saja berminat tehadap segala pertunjukan dan segala bangunan antik itu, tetapi juga tentu berminat terhadap benda budaya lain yang jarang kita perhatikan, yakni buku. Saya sampai sekarang masih suka membalik-balik buku Kawabata dan boleh dikatakan sudah `melupakan` sakura dan pura Jepang dan tontonan lain. Saya masih bisa menghayati Jepang dari buku itu, sama halnya dengan ketika saya duduk di gedung teater Tokyo yang menyuguhkan kabuki. Bedanya adalah bahwa buku Kawabata itu portable, mudah saya jinjing ke mana-mana dan bisa saya hati (?) kapan pun. Saya mengintip Jepang dari buku mungil itu.

Ketika masih kecil dan remaja, banyak di antara kita yang sudah berkenalan dengan buku-buku terjemahan dari pelbagai negeri. Dan marilah kita akui bahwa gambaran mengenai negeri-negeri itu dapat kita peroleh dari buku-buku tersebut. Mengapa ada usaha untuk menerjemahkan buku-buku itu ke dalam bahasa lain? Jawabnya tak lain karena setiap orang memiliki rasa ingin tahu, antara lain untuk mengenal dan menghayati bangsa lain. Waktu masih di sekolah rakyat (sekarang SD), saya berkenalan dengan beberapa buku terjemahan antara lain karangan sastrawan Amerika Wiliam Saroyan, Komedi Manusia, terjemahan dari The Human Comedy. Beberapa adegannya tidak pernah bisa terhapus dari benak dan kesadaran saya. Saya pun kemudian mengenal dan menghayati bangsa-bangsa lain lewat terjemahan karya sastra mereka. Kita bisa menghayati dan menghargai bangsa Cina lewat cerita-cerita Lu Hsun. Tanpa harus datang ke negeri itu kita sudah merasa mengenal budaya dan watak bangsa Cina, `hanya` lewat karya sastra sebab karya sastra konon mampu antara lain merekam bahkan perubahan-perubahan yang paling subtil yang terjadi dalam kebudayaan suatu bangsa.

Dan benda budaya semacam itulah yang bisa kita banggakan, dan kita kemas untuk dipajang di etalase. Ingat bahwa buku sastra adalah juga media, meskipun berbeda dari apa yang disebut sebagai media massa. Yang masih bisa kita banggakan adalah I La Galigo, sebuah epos Bugis-Makassar yang konon terpanjang di dunia, sejumlah besar tambo Minangkabau, Babad Jawa, dan tentu saja segenap karya sastra modern yang baik, yang merupakan rekaman dari watak kita sebagai bangsa. Turis asing yang cultured akan dengan senang hati membeli itu semua apabila diterjemahkan dan dikemas secara profesional. Dan seperti halnya kumpulan cerpen Kawabata dan novel Saroyan, karya sastra kita yang baik akan mampu bertahan dalam penghayatan sejumlah orang asing yang, siapa tahu, gagasannya berpengaruh di negerinya. Kita harus mulai memusatkan perhatian ke arah itu. Saya kira itulah yang masih dapat kita banggakan.***

Sumber : Prof Dr Sapardi Djoko Damono Sastrawan; Kritikus Sastra

Sweet Seventeen

Diposkan oleh Dhimas HR Pada 2:52 AM 0 komentar
Si Luna lagi manyun. Sudut bibirnya turun 2 cm ke bawah. Pasalnya semalam abangnya menolak membawa Boy turut serta nonton film remaja terbaru di bioskop. “Kamu belum cukup umur, belum 17 tahun”, kilah si Abang menghadapi jurus rengekan Boy. Padahal Boy udah ngerasa dewasa. “Aku kan udah 14 tahun. Apalagi tinggiku hampir sama dengan abang yang umurnya 20 tahun” protesnya dalam hati. Huuuuh.
Lain lagi ceritanya dengan Weni. Gadis 15 tahun ini ngebet banget sama tetangganya yang ganteng. “Kamu baru mama izinkan pacaran kalo udah 17 tahun, titik”, tegas mama ketika Weni mengutarakan maksudnya. Buyar deeeh. Sobat, diantara kamoe-kamoe pasti ada yang pernah ngalami kejadian seperti di atas. Hayo ngaku. Ya sobat, semua itu selalu dikaitkan dengan angka 17. Boleh ini itu mesti 17 dulu. Alasannya, Pak Polisi aja gak ngasi izin bikin SIM kalo belum 17 tahun (alasan pembenaran, hehehe).

Bukan, bukan itu alasan sebenarnya. Karena kalo kamu udah 17 tahun, kamu udah dianggap dewasa, dianggap bisa mikir sendiri dan mestinya dapat bertanggungjawab terhadap tingkah lakumu. Begicu....
Karena anggapan-anggapan seperti itulah, angka 17 menjadi angka keramat bagi remaja. Soalnya 17 jadi gerbang kebolehan untuk hal-hal yang sebelumnya tidak diperbolehkan ortu. Contohnya cerita di atas. Makanya mereka yang akan berumur 17 biasanya tidak ingin melewatkan momen tersebut. Salah satu caranya dengan merayakan momen itu secara meriah. Pesta Ultah Sweet Seventeen. Tul gak...?

Berubah Fisik dan Psikis,Bagi kamu yang remaja, masa-masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak
menuju dewasa. Dalam rentang waktu itu, kamu banyak mengalami perubahan baik fisik maupun psikis. Namun perubahan yang dominan adalah perubahan fisik. Bahkan menurut Psikolog, pertumbuhan secara fisik merupakan proses primer. Sedangkan perubahan secara psikologis antara lain diakibatkan dari perubahan fisik tadi. Tubuh yang mulai tumbuh dan berubah membuat kamu merasa terkesan bahkan bisa merasa kaget sendiri. Bagi yang laki-laki suaranya mulai berubah menjadi tambah berat. Bulu-bulu bertabur di wajah, dada, ketiak dan sekitar alat vital. Otot-otot berkembang seiring pertambahan panjang tulang tubuh. Sedangkan bagi mereka yang perempuan, organ-organ reproduksi menjadi matang, kulit bertambah halus, dan bagian-bagian tubuh tumbuh menuju bentuk wanita dewasa. Nah, repot gak. Fisik kamu mencirikan orang dewasa, sementara secara emosi sepertinya belum tuh... Kalau tidak bijak menghadapi itu semua, bisa-bisa pertumbuhan yang normal ini menjadi masalah buat kamu. Kadang muncul rasa canggung dan minder. Kecanggungan yang terjadi terutama disebabkan keharusan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan pada dirinya. Apalagi jika itu adalah perubahan yang mencolok.

Pada laki-laki, mungkin ia akan merasa minder saat wajahnya sudah ditumbuhi bulu lebat sementara teman-teman disekitarnya masih berwajah mulus. Sedangkan wanita yang mendapat haid pertama mungkin akan kebingungan dengan apa yang terjadi pada dirinya. Sumber potensi masalah lainnya terletak pada gejolak yang muncul dari dalam. Fisik yang berkembang ternyata juga diikuti oleh tumbuhnya dorongan-dorongan yang menyertai akibat proses kimiawi dalam tubuh. Dorongan itu terutama adalah ketertarikan kepada lawan jenis yang amat kuat. Kamu juga jadi mudah terangsang s
ecara erotis. Nah, kalau ini tidak dikontrol secara hati-hati, bisa berabe urusannya. Masa depan bisa hancur.... Selain itu semua, ada lagi lainnya dan yang ini agak menyebalkan, yaitu kamu jadi agak egois. Kepekaannya berlebihan. Akibatnya orang dewasa susah untuk mengerti remaja, begitu juga sebaliknya. Ini yang kadang jadi biang sebab pertempuran, eh salah.... pertengkaran. Dalam keluarga, remaja juga berpotensi terlibat dalam konflik. Biasanya terjadi antara remaja dengan orang tuanya atau dengan anggota keluarga yang sudah dewasa. Di satu sisi remaja ingin menjadi mandiri namun di lain sisi mereka mesti mengikuti apa kata orang tua mereka. Apalagi tingkat ketergantungan terhadap ortu masih sangat tinggi.Kawan, semua perubahan diri seperti di atas akan kamu alami bahkan sebelum kamu 17 tahun. Jadi tidak mesti menunggu sweet seventeen dulu untuk menuju dewasa. Ada yang umur 14 tahun sudah mimpi basah atau haid, yang berarti telah memasuki proses perubahan diri menuju kedewasaan.

Nah, dalam Islam bagi yang telah mengalami “peristiwa mimpi basah” (ihtilam) ataupun haid maka mereka telah memasuki masa baligh.
Pintu itu adalah Baligh Kalo kamu merasa dewasa pada saat udah umur 17, telat tuh. Seperti udah kita bahas di atas bahwa fakta membuktikan kedewasaan fisik maupun psikis dapat datang sebelum itu. Walaupun tentu saja tingkat kedewasaan kamu akan terus bertambah seiring umur dan pengalaman. Jika kata dewasa biasanya disandingkan dengan tanggung jawab dan kewajiban, maka dalam konsep Islam ada pintu gerbang lain menuju hal tersebut. Tapi bukan umur yang mesti 17 tahun lho. Melainkan sesuatu yang dinamakan baligh. Hayo, apa itu. Pasti kamu udah sering dengar. Kata baligh sering disandingkan dengan kata ”akil”. Nambah istilah lagi nih. Tapi gak papa, mari bahas satu persatu. Akil merupakan istilah untuk orang yang sudah mencapai tamyiz yaitu ukuran usia dimana seseorang dapat membedakan baik dan buruk serta memiliki kemampuan nalar yang cukup dan normal. Dari pengertian ini, anak kecil dan orang idiot berarti tidak termasuk. Sedangkan baligh adalah istilah untuk orang yang sudah mulai sempurna organ seksual dan organ reproduksi. Pada laki-laki ditandai dengan mimpi basah yakni mekanisme keluarnya sperma secara ilmiah yang didahului dengan mimpi erotis. Sedangkan pada perempuan ditandai dengan haid pertama kali, istilahnya menarche. Jadi akil baligh bisa dikatakan periode dimana seseorang sudah matang secara fisik maupun fikiran menuju kedewasaan. Baligh dalam Islam sebenarnya merupakan konsep yang amat penting. Tapi sayang sering diremehkan. Kenapa penting?. Karena setelah baligh seorang muslim laki-laki atau perempuan telah dibebankan kewajiban syar'i. Rasulullah Saw pernah bersabda; “diangkat pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang; orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam (keluar mani karena mimpi atau sebab lain) dan orang gila hingga berakal. HR. Abu Dawud. Dapat dipahami disini, dimana masa setelah baligh merupakan detik dimana anak manusia dianggap layak dan mampu melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Dosa dan pahalapun sudah diperhitungkan. Oleh karena itu sudah seharusnya orang yang akan akil baligh telah melengkapi dirinya dengan ilmu dan pengetahuan yang fardhu 'ain. Ia harus paham rukun iman dan rukun islam. Selain itu harus mengenal Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab, dan rasul-Nya. Harus tahu persoalan shalat, dapat membaca al-quran, berwudhu dan mensucikan najis. Dan juga mesti memahami tentang akhlak baik maupun buruk. Disinilah letak persoalan yang besar namun kerap dianggap remeh kebanyakan kaum muslimin sekarang. Sebelum baligh, seseorang mesti dipersiapkan pengetahuan-pengetahuan dan ilmu-ilmu yang nanti wajib dikerjakannya setelah baligh. Kemudian saat baligh ia tidak lagi mencari-cari tahu apa yang jadi kewajiban. Melainkan tinggal menjalankan kewajiban. Namun bukan berarti sebelum baligh seseorang tidak beramal apapun. Hanya saja, perhitungan pahala dan dosa bahkan sanksi secara hukum dimulai saat baligh tiba. Malah untuk persoalan sholat, Rasulullah Saw memerintahkan orang tua agar menyuruh anaknya yang telah berumur tujuh tahun untuk sholat. Jika umur 10 tahun tidak mau sholat maka diperbolehkan untuk dipukul. Kaidah ini sebenarnya mengisyaratkan bahwa umur 10 tahun, segala hal yang berkaitan dengan sholat mesti telah selesai dipelajari. Dalam perintah sholat terkait dengan pengetahuan dan keterampilan lain sebagai pelengkap perintah sholat, antara lain; dapat membaca Alquran, dapat berwudhu dan bersuci dari najis. Hal yang wajib, sunnah serta rukun dan syarat sholat mestinya otomatis telah diketahui. Jika umur 10 tahun saja, ilmu kelengkapan bagi seorang muslim sudah seperti itu bagaimana kalo sudah baligh. Jangan bayangkan yang susah-susah ya. Hehehe. Tapi beneran lho, kalo kita udah baligh ilmu yang fardhu 'ain mesti dikuasai karena tugas kita adalah melaksanakan. Yang prioritas dikuasai adalah ilmu-ilmu mendasar dalam Islam. Tapi bukan berarti kita tidak belajar lagi setelah baligh, melainkan belajarnya sudah pada level yang lebih tinggi. Pantaslah pada masa kejayaan Islam, para pemuda Islam adalah pemuda yang berkualitas.

Kepribadiannya dihiasai dengan ilmu yang mendalam karena sejak kecil telah dikondisikan dan dipersiapkan dengan baik oleh orang tuanya sesuai ajaran islam. Tidak hanya ilmu-ilmu agama lho, tapi zaman keemasan itu telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan unggul dalam matematika, kimia astronomi dan kedokteran. Dalam ranah sosial dikenal ahli sosiologi, militer, ekonomi, perdagangan dan politik. Itu semua karena pengkondisian sejak kecil. Berbeda ya dengan kita sekarang. Orang-orang tua aja masih belajar tata cara sholat atau berwudhu yang benar. Padahal kan seharusnya udah kelar sebelum baligh. Gimana mau belajar ilmu yang levelnya lebih tinggi seperti mengatur ekonomi, cara berpolitik dan ber-pemerintahan, ataupun belajar sistem peradilan dalam Islam.
yang Muda yang Berkarya.

Last but not least, bagi kamu yang muda belajar udah jadi kewajiban. Tak ada kata terlambat. Karena menuntut ilmu itu dari buaian hingga ke liang kubur lho. Kalo udah baligh jangan lupa kewajiban. Ingat, pena yang nulis segala amal udah mulai jalan. Gak perlu lagi nunggu 17 tahun. Takutnya udah “terlambat”, hehehe bukannya doain. Soalnya kita gak tau kapan umur berlalu dan habis. Umur 17 gak ada hubungannya dengan boleh tidaknya pacaran atau boleh ngerokok atau boleh nonton film 17+. Yang jadi ukuran boleh tidaknya adalah halal dan haram menurut Islam. Umurmu yang masih muda justru potensi untuk berkarya. Fisik masih dalam kondisi yang optimal. Semangat anak muda sudah jadi jaminan kuatnya tekad. Apalagi anak muda jiwanya kreatif, gak mau terkungkung. Sifat dasarnya agresif, dinamis, inovatif dan progresif (ngerti gak?hehe).

Ini bukan sekedar manas-manasin anak muda.
Sejarah mencatat bahwa kebangkitan umat memang tidak pernah lepas dari kiprah para pemudanya. Kalo gak percaya liat aja buku sejarah. Akan tetapi kemunculan pemuda-pemuda berkualitas tidaklah serta merta. Mereka lahir dari keluarga-keluarga yang memang mempersiapkan anak-anaknya dengan baik. Konsepnya dengan Islam. Selain itu, para pemuda juga dijaga oleh lingkungan. Lingkungan yang baik tentunya. Jika mulai menyimpang, maka akan ada teguran dan nasehat atau kalau perlu diberi sanksi. Dan kalau kita mengharapkan kemunculan generasi-generasi pemuda Islam yang bekualitas maka konsep lahirnya generasi tersebut mestilah dari Islam.
Dhimas HR
 

Mengangkat Musik & Budaya Indonesia Copyright © 2010 Designed by Dhimas HR Blogger Pekalongan Sponsored by Pissces Of 17 Band - Cikarang