Suara Emas (Golden Voice) adalah modal utama penyiar. Tapi ketahuilah, suara bagus saja tidak cukup untuk menjadi penyiar pro. Suara bagus akan menjadi tidak bagus, gak enak didengar, jika sang pemilik suara sering mengatakan “OK”, “yang pasti”, atau “pastinya” secara berulang-ulang alias latah!
Kita juga sering melihat atau mendengar seorang MC yang “mengobral” kata-kata “OK”. Entah berapa ratus kata “OK” yang meluncur dari mulutnya selama ia berbicara. Mengenai hal itu, kita simak apa yang pernah dikemukakan MC kawakan, Krisbiantoro. Suatu ketika, ia berada di acara yang sama dengan MC muda usia, 20-an tahun. Krisbiantoro yang sudah dikenal pada awal 1970-an itu prihatin karena MC muda itu meneriakkan kata “OK” sampai ratusan kali.
Krisbiantoro lalu menanyakan soal obral kata “OK” itu. “Saya bilang sama dia, ’Mbak-mbak, mbok ya okay-nya dikurangi’.” Dengan jujur, pembawa acara muda itu mengaku. “Iya Oom, kadang saya blank (kosong) dan tak tahu harus ngomong apa,” kata Kris menirukan rekan mudanya (Baca ASM. Romli, Kiat Memandu Acara: Teknik MC & Moderator, Nuansa Bandung, 2006). Begitulah “si oke” menjadi senjata ampuh untuk mengisi kekosongan seorang MC atau penyiar radio. Dalam pendapat Krisbiantoro, rentetan kata “oke” itu muncul dari kedangkalan wawasan dan ketidaksiapan sang presenter. Kedangkalan atau keterbatasan wawasan itu pula yang kemudian melahirkan tabiat yang di mata penonton/pendengar terasa aneh, lucu, dan memuakkan.
“Untuk menghindari kekosongan itu kita sering melihat sepasang pembawa acara teriak-teriak, sedangkan yang lain tepuk tangan sendiri lalu tertawa sendiri,” kata Krisbiantoro (Kompas, 21 November 2004). Ini soal nonteknis. Soal wawasan ini penting banget, tidak boleh diabaikan. Kelancaran bicara bergantung pada wawasan penyiar. Penyiar yang tidak punya wawasan atau pengetahuan yang banyak, siarannya akan ”kering”, cuma ”say hello”, sering mengulang kata yang sama seperti kata “OK” tadi, dan kirim-kirim salam doang, trus puter lagu. Ah, ’dak ada isinya!
Untuk memiliki wawasan yang luas, penyiar harus rajin baca –baca koran tiap hari, majalah, artikel, buku, juga sering nonton berita televisi dan acara lainnya. Lebih baik lagi jika penyiar sering ikut hadir dalam acara diskusi, seminar, dan semacamnya. Penyiar bisa menjadi andalan pendengar tentang banyak isu atau kejadian. Meraka, pendengar, selalu menganggap penyiar itu pergaulan dan wawasannya luas, sehingga ”banyak tahu” dan ”tahu banyak”. Penyiar harus in-touch dengan apa yang sedang menjadi pusat perhatian masyarakat. Dengan kata lain, kita harus “gaul” seperti mereka.
Lagi pula, bisa jadi penyiar setiap hari berhadapan dengan naskah yang berbeda. Nah, dalam menggunakan naskah itu sebagai bahan siaran, misalnya tips atau informasi aktual (berita),penyiar harus paham betul isi naskah itu. Belum lagi kalau harus siaran talkshow, bincang-bincang dengan narasumber. Tak jarang ’kan, narasumber atau bintang tamu mengemukakan topik atau istilah yang ”aneh-aneh”, disangkanya penyiar akan selalu mengerti.
Dijamin, kalo penyiar banyak baca, sehingga banyak tahu dan tahu banyak, siarannya akan berkualitas, ”bernas”, berisi, intelek, dan disukai pendengar. Siarannya tidak cuma bermodal suara bagus, tapi juga wawasan yang luas. Itulah sebabnya, tidak sedikit radio mensyaratkan penyiarnya minimal D3, pernah kuliah, jurusan apa saja, tidak mesti jurusan broadcast atau penyiaran. Orang yang pernah kuliah diasumsikan ”haus ilmu” dan ”daya nalar”-nya terasah semasa kuliah. Pengalaman akademis dan intelektualnya sangat menunjang dirinya dalam siaran yang didengar banyak orang dengan berbagai tingkat kecerdasan dan pengetahuan. Karena pada intinya, pendidikan formal itu dibutuhkan untuk memperluas cakrawala pengetahuan.
Penyiar juga terkadang berhadapan dengan situasi yang tak terduga. ‘Dalam sebuah siaran interaktif, pendengar radio terkadang memberi pertanyaan di luar topik. Tentu saja, selain wawasan, penyiar juga harus menguasai teknik vokalisasi dan verbalisasi yang baik, sense of humor, sense of music, pemahaman alat siaran, pemahaman dan wawasan musik/lagu, dan sebagainya.
Buat para penyiar, selamat meluaskan wawasan… give your best announcing to your Family's!
Dhimas HR
Kita juga sering melihat atau mendengar seorang MC yang “mengobral” kata-kata “OK”. Entah berapa ratus kata “OK” yang meluncur dari mulutnya selama ia berbicara. Mengenai hal itu, kita simak apa yang pernah dikemukakan MC kawakan, Krisbiantoro. Suatu ketika, ia berada di acara yang sama dengan MC muda usia, 20-an tahun. Krisbiantoro yang sudah dikenal pada awal 1970-an itu prihatin karena MC muda itu meneriakkan kata “OK” sampai ratusan kali.
Krisbiantoro lalu menanyakan soal obral kata “OK” itu. “Saya bilang sama dia, ’Mbak-mbak, mbok ya okay-nya dikurangi’.” Dengan jujur, pembawa acara muda itu mengaku. “Iya Oom, kadang saya blank (kosong) dan tak tahu harus ngomong apa,” kata Kris menirukan rekan mudanya (Baca ASM. Romli, Kiat Memandu Acara: Teknik MC & Moderator, Nuansa Bandung, 2006). Begitulah “si oke” menjadi senjata ampuh untuk mengisi kekosongan seorang MC atau penyiar radio. Dalam pendapat Krisbiantoro, rentetan kata “oke” itu muncul dari kedangkalan wawasan dan ketidaksiapan sang presenter. Kedangkalan atau keterbatasan wawasan itu pula yang kemudian melahirkan tabiat yang di mata penonton/pendengar terasa aneh, lucu, dan memuakkan.
“Untuk menghindari kekosongan itu kita sering melihat sepasang pembawa acara teriak-teriak, sedangkan yang lain tepuk tangan sendiri lalu tertawa sendiri,” kata Krisbiantoro (Kompas, 21 November 2004). Ini soal nonteknis. Soal wawasan ini penting banget, tidak boleh diabaikan. Kelancaran bicara bergantung pada wawasan penyiar. Penyiar yang tidak punya wawasan atau pengetahuan yang banyak, siarannya akan ”kering”, cuma ”say hello”, sering mengulang kata yang sama seperti kata “OK” tadi, dan kirim-kirim salam doang, trus puter lagu. Ah, ’dak ada isinya!
Untuk memiliki wawasan yang luas, penyiar harus rajin baca –baca koran tiap hari, majalah, artikel, buku, juga sering nonton berita televisi dan acara lainnya. Lebih baik lagi jika penyiar sering ikut hadir dalam acara diskusi, seminar, dan semacamnya. Penyiar bisa menjadi andalan pendengar tentang banyak isu atau kejadian. Meraka, pendengar, selalu menganggap penyiar itu pergaulan dan wawasannya luas, sehingga ”banyak tahu” dan ”tahu banyak”. Penyiar harus in-touch dengan apa yang sedang menjadi pusat perhatian masyarakat. Dengan kata lain, kita harus “gaul” seperti mereka.
Lagi pula, bisa jadi penyiar setiap hari berhadapan dengan naskah yang berbeda. Nah, dalam menggunakan naskah itu sebagai bahan siaran, misalnya tips atau informasi aktual (berita),penyiar harus paham betul isi naskah itu. Belum lagi kalau harus siaran talkshow, bincang-bincang dengan narasumber. Tak jarang ’kan, narasumber atau bintang tamu mengemukakan topik atau istilah yang ”aneh-aneh”, disangkanya penyiar akan selalu mengerti.
Dijamin, kalo penyiar banyak baca, sehingga banyak tahu dan tahu banyak, siarannya akan berkualitas, ”bernas”, berisi, intelek, dan disukai pendengar. Siarannya tidak cuma bermodal suara bagus, tapi juga wawasan yang luas. Itulah sebabnya, tidak sedikit radio mensyaratkan penyiarnya minimal D3, pernah kuliah, jurusan apa saja, tidak mesti jurusan broadcast atau penyiaran. Orang yang pernah kuliah diasumsikan ”haus ilmu” dan ”daya nalar”-nya terasah semasa kuliah. Pengalaman akademis dan intelektualnya sangat menunjang dirinya dalam siaran yang didengar banyak orang dengan berbagai tingkat kecerdasan dan pengetahuan. Karena pada intinya, pendidikan formal itu dibutuhkan untuk memperluas cakrawala pengetahuan.
Penyiar juga terkadang berhadapan dengan situasi yang tak terduga. ‘Dalam sebuah siaran interaktif, pendengar radio terkadang memberi pertanyaan di luar topik. Tentu saja, selain wawasan, penyiar juga harus menguasai teknik vokalisasi dan verbalisasi yang baik, sense of humor, sense of music, pemahaman alat siaran, pemahaman dan wawasan musik/lagu, dan sebagainya.
Buat para penyiar, selamat meluaskan wawasan… give your best announcing to your Family's!
Dhimas HR
0 komentar:
Post a Comment